Quote:... Seperti sudah saya katakan pada Tuhantu, saya pun tidak bisa membuktikan bahwa apa yang saya terima sebagai "the truth" itu benar2 'the truth" :) Dan saya memang tidak merasa perlu untuk meyakinkan orang2 bahwa itu adalah "the truth". It's my personal experience and my personal acceptance :) Tidak untuk dijelaskan, tidak untuk diyakinkan ke orang2 lain. End of quote.
TuHanTu: That is fine... ... I do not have an intetion to make you explain your version of ´turth´ (like you said: saya pun tidak bisa membuktikan bahwa apa yang saya terima sebagai "the truth" itu benar2 'the truth" :)... Well... I knew this already... :)
On the other hand, my ´version of truth´ has a ´space´ for your version of ´truth´ (God is exists ---> Neuron Chit Chat)... Namun karena kita kayaknya kembali ke -yours and my- ´square ones´ ada baiknya tarik nafas dulu...:D... Sebelum obrolans dilanjut lagi, as for ´taat judul´ (´Measuring the Universality´ in this phase --> ´individual´ level)
Tetapi ada secuil point yg bisa saya sertakan disini:... Dalam mengobrolkan sesuatu, ada orang yang sekalipun juga mempunyai pegangan keyakinan (whatever faith that is, or whatever kind of wisdom that is), bisa melepaskan dulu ´simbolnya´ ketika menanggapi topik yg dibicarakan... In my perspective, these individuals are already came up to the ´Universality´... Misalnya, seorang yg punya agama ´B´, tapi bisa mendeskripsikan pokok keyakinan agama ´C´ lebih ´logis´ dari penganut agama ´C´ itu sendiri, this kind of thing requires ´imagination´ and numerous science literatures... Bukan malah mencaci-maki... Just an example... (Bahkan yang mengaku sbg ´Philosopher´ juga belum tentu bisa melakukan ini, ya kan Mbak Sisc?...Kemane aja, kok diem?... Semedi ya... :-)...
Namun dalam obrolan ini (Measuring the Universality) yg saya butuhkan memang adalah sohab-sohib yang nota-bene open-minded tapi sekaligus tidak atau belum bisa/tidak atau belum mampu melepaskan his/her own version of ´truth´... Mbak Swas, misalnya... :)... Sebab I need to figure out and I am very curious about ´the role of imagination into the formulation of -any- faith´...
Be Fun
TuHanTu
http://holespirit.ning.com
--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "was_swas" <was_swas@...> wrote:
>
>
>
> --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, Howl scimindd@
> wrote:
> >
> > But how do you know that it's a truth? Is it a truth because you
> > accept it as a truth?
> >
> > Orang biasanya mengatakan bahwa iman itu berdasarkan pada kebenaran,
> > tetapi kebenaran yang .. tidak dapat dibuktikan.
> > Sebab kebenaran yang dapat dibuktikan akan menjadi "knowledge", dus
> > tidak lagi membutuhkan iman.
>
> Betul, Howlie Moulie... :)
>
> Seperti sudah saya katakan pada Tuhantu, saya pun tidak bisa membuktikan
> bahwa apa yang saya terima sebagai "the truth" itu benar2 'the truth" :)
> Dan saya memang tidak merasa perlu untuk meyakinkan orang2 bahwa itu
> adalah "the truth". It's my personal experience and my personal
> acceptance :) Tidak untuk dijelaskan, tidak untuk diyakinkan ke orang2
> lain.
>
> Yang saya tahu, at that moment, I just "know" :) At that moment, I
> "understand" that resistance is futile, in a way that I cannot
> understand - let alone explain :) Dan itu yang menimbulkan my faith,
> meskipun tidak dapat dijelaskan :)
>
> > Jika anda belum bisa membuktikan bahwa bumi bulat, maka anda bisa
> > mengatakan "Saya PERCAYA bahwa bumi bulat". Tapi kalau sudah bisa
> > dibuktikan, maka anda akan mengatakan "Saya TAHU bahwa bumi itu
> > bulat".
>
> Kalau untuk saya, contohnya akan lebih tepat gini: saya MEMPERTANYAKAN
> apakah benar bumi itu bulat? Lalu dalam satu saat, I just know that bumi
> bulat. Apakah saya kemudian bisa membuktikan? Tetap tidak... hehehe...
> Dan merasa tidak perlu untuk membuktikan :)
>
> Salam,
>