Howl

Diposting secara otomatis dari milis psikologi transformatif.

Tuesday, November 4, 2008

Re: [psikologi_transformatif] Supaya diskusi tidak ngalor-ngidul, baca dulu Isi RUU pornografi.

kalau begitu, dengan jadi penyuluh pendidikan seksualitas ke anak2 pra remaja dan remaja, gimana nasib kita2 nih?

karena semua yang temasuk dalam kriteria pornografi itulah yang justru dipaparkan ke peserta penyluhannya...

si jeng

2008/11/5 Howl <scimindd@gmail.com>

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PORNOGRAFI

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat
oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi,
foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi,
kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media
komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang
dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar
nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

2.Jasa pornografi adalah segala jenis layanan
pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan
atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi
kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet,
dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar,
majalah, dan barang cetakan lainnya.

3.Setiap orang adalah orang perseorangan atau
korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.

4.Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun.

5.Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin
oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

6.Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha
Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat
kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum,
nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga
negara.

Pasal 3
Pengaturan pornografi bertujuan:
a.mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan
masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur,
menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;

b.memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral
dan akhlak masyarakat;

c.memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi
warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan
perempuan; dan
d.mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi
seks di masyarakat.

BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN

Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat,
memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi yang memuat:

e.persenggamaan, termasuk persenggamaan yang
menyimpang;

f.kekerasan seksual;

g.masturbasi atau onani;

h.ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan; atau

i.alat kelamin.

(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi
yang:

a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;

c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual;
atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun
tidak langsung layanan seksual.

Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1).

Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau
menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh
perundang-undangan.

Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas
persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang
mengandung muatan pornografi.

Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai
objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang
lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang
menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan
dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau
Pasal 10.

Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk,
memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan
atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa
pornografi.

Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada
peraturan perundang-undangan.

(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.

Pasal 14
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi
seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan
memiliki nilai:
a.seni dan budaya;
b.adat istiadat; dan
c.ritual tradisional.

Pasal 15
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk
pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan
pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PERLINDUNGAN ANAK

Pasal 16
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari
pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap
informasi pornografi.

Pasal 17
1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan,
lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat
berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta
pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi
setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
pornografi.

2) Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta
pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PENCEGAHAN

Bagian Kesatu
Peran Pemerintah

Pasal 18
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi.

Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, Pemerintah berwenang:
a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan
penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi,
termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;

b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan

c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai
pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi.

Pasal 20
Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18, Pemerintah Daerah berwenang:

a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan
penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi,
termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di
wilayahnya;

b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di
wilayahnya;

c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai
pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi di wilayahnya; dan

d.mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan
edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di
wilayahnya.

Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat

Pasal 21
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan
pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.

Pasal 22
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 dapat dilakukan dengan cara:

a.melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;

b.melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;

c.melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pornografi; dan

d.melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap
bahaya dan dampak pornografi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan huruf b dilaksanakan secara bertanggung jawab
dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a berhak
mendapat perlindungan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG
PENGADILAN

Pasal 24
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap pelanggaran pornografi
dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum
Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.

Pasal 25
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk
juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi
tetapi tidak terbatas pada:

a.barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk
cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik,
atau bentuk penyimpanan data lainnya; dan

b.data yang tersimpan dalam jaringan internet dan
saluran komunikasi lainnya.

Pasal 26
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang
membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data
elektronik yang tersimpan dalam fail komputer,
jaringan internet, media optik, serta bentuk
penyimpanan data elektronik lainnya.

(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data,
penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik
berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data
elektronik yang diminta penyidik.

(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa
layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau
membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau
berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.

Pasal 27
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan mengirim
turunan berita acara tersebut kepada pemilik data,
penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi
di tempat data tersebut didapatkan.

Pasal 28
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan
perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas
perkara.

(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan
perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau
dihapus.

(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan
sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data
elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.

BAB VI
PEMUSNAHAN

Pasal 29
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi
hasil perampasan.

(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan
membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a.nama media cetak dan/atau media elektronik yang
menyebarluaskan pornografi;
b.nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c.hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d.keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
barang yang dimusnahkan.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 30
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun atau pidana denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 31
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda
paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).

Pasal 32
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).

Pasal 33
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan,
memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana
dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).

Pasal 34
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar
lima ratus juta rupiah).

Pasal 35
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan
dirinya menjadi objek atau model yang mengandung
muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 36
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek
atau model yang mengandung muatan pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda
paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam
miliar rupiah).

Pasal 37
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain
dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan
ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan,
atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 38
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan
dan/atau sebagai obyek sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31,
Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37,
ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman
pidananya.

Pasal 39
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan,
membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa
anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling
sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).

Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh
atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan
penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi
dan/atau pengurusnya.

(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi tersebut, baik sendiri maupun
bersama-sama.

(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu
korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi agar
pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan
dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya
pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap
korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada
pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat
pengurus berkantor.

(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum
pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang
ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.

Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (7), korporasi dapat dikenakan pidana tambahan
berupa:
a.pembekuan izin usaha;
b.pencabutan izin usaha;
c.perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan/atau
d.pencabutan status badan hukum.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu
paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki
atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau
menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk
dimusnahkan.

Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang mengatur atau
berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.

Pasal 44
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

PENJELASAN:

Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang"
antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual
lainnya dengan mayat dan binatang, oral seks, anal
seks, lesbian, homoseksual.

Huruf b
Yang dimaksud dengan "kekerasan seksual" antara
lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan
kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan
paksaan, pemerkosaan.

Huruf d
Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan"
adalah penampakan tubuh dengan menunjukkan
ketelanjangan yang menggunakan penutup tubuh yang
tembus pandang.

Pasal 5
Yang dimaksud dengan "mengunduh" adalah mengalihkan
atau mengambil fail (file) dari sistem teknologi
informasi dan komunikasi.

Pasal 6
Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh
perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi
kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi
penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan
kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga
pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula
perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan
lainnya.

Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan,
memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang
pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan
di tempat atau lokasi yang disediakan untuk tujuan
lembaga dimaksud.

Pasal 10
Yang dimaksud dengan "mempertontonkan diri" adalah
perbuatan yang dilakukan atas inisiatif dirinya atau
inisiatif orang lain dengan kemauan dan persetujuan
dirinya. Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya"
antara lain kekerasan seksual, masturbasi atau onani.

Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi,
membuat, memperbanyak, atau menggandakan.

Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk
menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
meminjamkan, atau menyediakan.

Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk
memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki atau menyimpan.

Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1)" dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat
model berpakaian bikini, baju renang, pakaian olahraga
pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara
khusus" misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau
oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan
atau menggambarkan pornografi.

Pasal 14
Yang dimaksud dengan "materi seksualitas" adalah
materi yang tidak mengandung unsur yang dapat
membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar
kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang
yang menggambarkan lingga dan yoni.

Pasal 16
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini
mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan
ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan
perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan
Anak.

Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui
internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau
penyediaan jasa pornografi.

Pasal 20
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui
internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau
penyediaan jasa pornografi.


__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Groups

Cat Zone

Connect w/ others

who love cats.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Yahoo! Groups

Going Green Zone

Save the planet.

Your resources to go green.

.

__,_._,___

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home