Resensi: The 7 Laws of Happiness, 2008, Arvan Pradiansyah, Penerbit Kaifa KEBAHAGIAAN DAN ENERGI MINIMAL Oleh Audifax Research Director di SMART Human Re-Search & Psychological Development Arvan Pradiansyah senantiasa mengatakan bahwa kunci segala sesuatu berada dalam otak. Pendapat ini menarik untuk kita bahas lebih jauh, karena dalam beberapa temuan terakhir ternyata manusia memang memiliki semacam cetak biru peran kehidupan yang tersimpan di otaknya, bahkan telah terbentuk sejak individu di dalam kandungan. Bahkan menurut saya, pemikiran Arvan mengenai 'Kebahagiaan' memiliki implikasi logis jika dikaitkan dengan temuan mengenai cetak biru dalam otak tersebut. Apa itu 'kebahagiaan'? Arvan membedakan antara 'kebahagiaan' dan 'kesenangan'. Ukuran 'kebahagiaan', menurut Arvan, adalah kualitas. Maka itu, Kebahagiaan tidak mengacu pada pencapaian melainkan proses. Saya mencoba menggambarkan 'kebahagiaan' dengan mengaitkannya pada konsep yang disebut 'Energi Minimal'. Konsep inilah yang dalam esei ini akan mempertautkan konsep Arvan mengenai 'Otak' dan 'Kebahagiaan' dengan apa yang saya sebut 'Peran Kehidupan'. Dalam sebuah diskusi menarik di FSK ITB, Alfathri Adlin mengemukakan mengenai 'Energi Minimal'. Dicontohkannya Albert Einstein dan Thomas Alfa Edison. Bagaimana penjelasan seorang Einstein yang di masa sekolahnya payah di semua pelajaran kecuali matematika, namun di kemudian hari menjadi fisikawan terbesar abad 20? Bagaimana penjelasannya seorang Edison bertahan melakukan percobaan seribu kali dan baru pada percobaan keseribu ia berhasil? Semua itu adalah persoalan 'Energi Minimal'. Energi minimal itu semacam bayangan jati diri individu. Suatu kemampuan utama yang dimiliki seseorang yang mengalir mudah ketika mengerjakan sesuatu. Energi minimal tidak mengisyaratkan seseorang harus mengerjakan sesuatu tanpa kerja keras. Orang malah bisa kerja keras siang-malam, namun tidak merasa sedang bekerja susah payah. Setiap orang memiliki energi minimal, sehingga ada yang mudah mendalami filsafat, ekonomi, atau bahasa, dan lain sebagainya. Di situlah seorang bisa menemukan apa itu 'kebahagiaan', yaitu ketika ia mengerjakan sesuatu dengan rasa cinta pada apa yang ia kerjakan. Tepat di situlah individu sebenarnya menemukan peran kehidupan sesuai apa yang ada dalam dirinya. Sebaliknya, seseorang bisa saja bekerja keras menggeluti suatu hal, bukan dengan energi minimalnya, tetapi lebih kepada hasrat dan ambisi untuk meraih suatu hal yang sebenarnya tidak pas untuk dirinya. Nah, yang seperti ini dalam konsep Arvan simetri dengan apa yang disebut 'kesenangan', bukan 'kebahagiaan'. BAGAIMANA MENEMUKAN ENERGI MINIMAL? Menemukan Energi Minimal berarti juga menemukan diri. Menariknya, sebuah temuan menunjukkan bahwa di dalam otak kita tersimpan semacam cetak biru yang telah terbentuk sejak usia 21 minggu dalam kandungan. Cetak biru ini bisa dianalogikan semacam 'talenta' yang diberikan pada masing-masing individu. Ketika individu memahami dan mengembangkan 'talenta' ini, maka ia pun akan mampu mengembangkan diri sesuai Energi Minimalnya. Temuan itu berbicara mengenai kecerdasan manusia, yang coba ditransformasikan dalam kerangka teori Multiple Intelligence dari Howard Gardner. Ditemukan bahwa ada semacam proporsi pola wadah sesuai delapan komponen kecerdasan: Logika Matematika, Logika Bahasa, Spasial-Visual, Musik, Kinestetik, Interpersonal, Intrapersonal dan Naturalistik. Masing-masing individu memiliki pola yang khas sesuai dirinya. Proporsi pola wadah ini bersifat menetap, meski perkembangan saraf-saraf di otak terus bertambah. Inilah kecerdasan potensi. Namun, dalam perjalanan hidupnya, belum tentu kecerdasan potensi ini kemudian berkembang menjadi performa sebagaimana pola yang naturnya. Bisa jadi, dalam keseharian komponen kecerdasan potensi yang menjadi kelebihan justru tidak berkembang karena pengaruh lingkungan (nurture) dan sebaliknya, komponen yang secara natur inferior justru berkembang. Kecerdasan yang terbentuk oleh nurture ini adalah Kecerdasan Performa. Persoalannya kemudian bukan pada sesuai atau tidaknya antara perkembangan kecerdasan potensi dan performa, melainkan seberapa individu mampu menggunakan Energi Minimalnya, agar ia benar-benar merasa bahagia dengan apa yang ia kerjakan. Arvan memberi ilustrasi bagus untuk hal ini: Seorang wanita lajang bekerja sebagai seorang konselor. Dia menikmati pekerjaannya yang berhubungan dengan anak-anak bermasalah, tetapi sering mengeluhkan kondisi tempat tinggalnya, lalu lintasnya, penduduk kota yang terus bertambah, dan panas yang menyengat setiap musim panas. Di sisi lain, dia ditawari sebuah pekerjaan di sebuah kota kecil yang indah di pegunungan. Sebenarnya, ia telah berkunjung ke kota itu berkali-kali dan memimpikan pindah ke sana. Namun, satu-satunya masalah adalah kenyataan bahwa pekerjaan baru itu akan membuatnya harus menangani pasien orang dewasa. Pilihan ini membuatnya bingung. Dia menyusun daftar pro dan kontra, tetapi daftar itu malah membuatnya bertambah bingung. Wanita ini tahu persis bahwa dia tidak akan menikmati pekerjaan barunya itu, tetapi dia beranggapan bahwa kekurangan tadi akan diimbangi dengan senangnya tinggal di kota tersebut. Dia sering membayangkan betapa menyenangkannya tinggal di kota itu dan betapa tersiksanya tinggal di kota yang sekarang. Ketika berdiskusi dengan pasiennya ini, Dr. Cutler hanya mengajukan pertanyaan singkat yang membuat gadis itu berpikir, "Kalau Anda pindah ke sana, menurut Anda apakah yang akan Anda peroleh, kebahagiaan lebih besar atau kesenangan lebih besar?". Pertanyaan singkat ini berdampak luar biasa bagi wanita muda ini. Dia akhirnya tersadar bahwa kepindahannya ke kota impiannya hanyalah menghasilkan kesenangan yang lebih besar dan bukan kebahagiaan. Dia sadar bahwa dia tidak akan bahagia karena harus menghadapi klien dewasa. Dia sadar bahwa dia mendapatkan kepuasan yang luar biasa sekarang ini dari pekerjaannya menangani anak-anak. Dia sadar bahwa keputusan untuk tetap meneruskan pekerjaannya menjadi konselor anak adalah hal yang membuatnya bahagia. Inilah gambaran bagaimana seorang menemukan peran di mana ia menggunakan Energi Minimalnya untuk peran tersebut. TUJUH HUKUM KEBAHAGIAAN. Arvan mencoba berteori lebih jauh tentang bagaimana mencapai Kebahagiaan. Ia mengungkapkan adanya Tujuh Hukum Kebahagiaan (The 7 Laws of Happiness). Hukum itu terdiri dari tiga bagian besar, yaitu Intrapersonal, Interpersonal dan Spiritual. Berdasarkan tiga area tersebut, barulah dibagi menjadi tujuh sub-area. Kurang lebih gambarannya demikian: Spiritual | 7. Surrender | Interpersonal | 5. Giving | 6. Forgiving | 4. Love | Intrapersonal | 2. Gratefulness | 3. Simplicity | 1. Patience | Secara ontologis, teori Arvan tersebut dekat dengan teori 7 habits dari Stephen Covey, bahkan bisa jadi merupakan modifikasinya. Begitu pula jika kita cermati pada tiga area besar. Di situ ada kesimetrian dengan Multiple Intelligence dari Howard Gardner, di mana terdapat Kecerdasan Intrapersonal, Interpersonal dan terakhir muncul wacana Kecerdasan Eksistensial yang kerap dipahami juga sebagai Kecerdasan Spiritual. Ini menunjukkan Arvan memiliki teoritisasi yang jelas letaknya di antara pemikiran-pemikiran lain yang terkait.. Secara epistemologi dan aksiologi, Arvan juga mampu memberi penjelasan yang relatif komprehensif. Ada berbagai contoh yang memudahkan pembaca memahami bagaimana proses meng-Ada dari teori tersebut, serta bagaimana menerapkannya dalam konteks realita. Bahkan dalam penilaian saya, teori ini memiliki kemungkinan untuk berkembang atau dikembangkan lebih jauh. Ini berarti, buku "The 7 Laws of Happiness" ini sebenarnya merupakan sebuah buku yang serius dan bukan sekedar buku motivasi biasa. PIKIRAN DAN ABSURDITAS Kekuatan dari buku ini terletak pada bangunan teoritisasi yang kuat. Konsep mengenai 'Otak' sebagai pusat sebenarnya sejalan dengan arus pemikiran modernisme yang digagas oleh Rene Descartes dan kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Immanuel Kant. Otak atau Pikiran sebagai pusat, memang sempat dihantam habis-habisan oleh pemikir-pemikir posmodernisne, namun demikian, dalam perkembangan terakhir, pemikir posmodernis Slavoj Zizek, yang juga psikoanalis neo-lacanian, justru membaca-ulang modernisme dengan kembali menempatkan Pikiran (Cogito) sebagai pokok utama. Di sinilah, saya, dengan mengelaborasi pemikiran Zizek, juga ingin membaca-ulang penempatan pikiran dalam teori Arvan mengenai The 7 Laws of Happiness. Kebahagiaan, tak pernah finit dengan pencapaian puncak atau hukum ketujuh seperti digambarkan Arvan di akhir bukunya. Justru jika Arvan mau konsisten dengan apa yang dia gambarkan mirip dengan Kekembalian- Segala-Sesuatu- Secara-Sama dalam pemikiran Nietzche, maka Arvan tidak akan membuat 7 hukum yang bersifat hirarkis, melainkan siklik. Kebahagiaan, bagaimanapun dicari dan diolah dalam otak, tak akan finit selama manusia masih menjalani hidupnya. Ini karena seperti dijelaskan Zizek, bahwa Cogito manusia adalah Empty Cogito atau Cogito yang memiliki semacam lubang yang membuat apapun yang diisikan kepadanya selalu habis tersedot. Menurut Zĭzěk, begitu terlahir dalam kehidupan subjek kehilangan keutuhan karena selamanya berlubang serta menghabiskan hidupnya untuk menambal lubang tersebut lewat pencarian makna dan keutuhan. Albert Camus menjelaskan fenomen tersebut secara jenial dalam Mite Sisifus. Menurut Camus, manusia berada dalam absurditas. Manusia layaknya Sisifus yang dihukum oleh dewa untuk terus menerus mendorong sebuah batu besar ke puncak sebuah gunung; dari puncak gunung, batu besar itu akan jatuh ke bawah oleh beratnya sendiri. Namun, sejatinya Kebahagiaan dan absurditas adalah dua putra dari satu (Ibu) bumi. Kita tidak bisa memisahkan Kebahagiaan dan Absurditas dengan membuat sebuah hukum hirarkis tentang Kebahagiaan. Kebahagiaan bisa lahir dari penemuan absurd, sebaliknya bisa juga terjadi bahwa perasaan absurd ditimbulkan oleh kebahagiaan. Camus kemudian mengutip perkataan Oedipus atas tragedi hidup: "Saya menilai bahwa semuanya baik". Jika bicara mengenai Kebahagiaan dan Absurditas, maka sejatinya kata-kata Oedipus tersebut menggema dalam alam manusia yang buas dan penuh keterbatasan. Kata-kata itu, jika diresapi, mengajarkan bahwa semuanya belum tuntas dan tak pernah tuntas. Kata-kata itu membuat takdir menjadi urusan manusia, dan harus ditangani di antara manusia, bukan melemparkannya ke atas langit. Inilah sebabnya Nietzche melingkarkan waktu dan memaklumatkan "Kematian Tuhan" dalam Kekembalian- Segala-Sesuatu- Secara-Sama (The Eternal Recurrent of the Same). Dalam waktu yang melingkar dan membuat segalanya kembali itulah sebenarnya terletak seluruh kegembiraan bisu Sisifus. Persis di situlah nasibnya adalah miliknya. Batunya adalah bendanya. Begitu pula manusia absurd, ketika ia dalam kepedihannya mampu merenungkan makna terdalam dari peran hidupnya, maka persis di situlah manusia mampu membuat semua patung berhala membisu. Pada titik ini, dalam dunia yang seakan tiba-tiba dikembalikan pada kebisuannya, sayup-sayup bermunculan suara-suara kecil dari bumi yang terkagum-kagum. Panggilan-panggilan tak sadar dan rahasia, undangan dari semua wajah, di mana semua itu adalah gerak pelampauan dan kemenangan manusia atas kehidupan itu sendiri. Di sinilah sebenarnya Pikiran tak sejelas dan semudah digambarkan Arvan dalam 'Memilih Pikiran'. Setiap Pikiran mengenai segala 'Ada', sebenarnya sekaligus juga sebuah absurditas. Di sinilah kita mesti kembali mengingat proses Descartes dalam menemukan Cogito Ergo Sum-nya. Saat itu, sebenarnya yang pertama-tama menjadi pencetus justru adalah absurditas, sehingga Descartes meragukan 'Ada'-nya. Ia meragukan pikirannya dan kemudian disimpulkannyalah bahwa justru lewat keraguan itulah ia Ada. Jadi, pikiran bukan sebuah Cogito yang jernih melainkan selalu berkelindan dengan absurditas. Inilah yang sejauh amatan saya luput diperhatikan Arvan dalam membangun teorinya. Meski demikian, apa yang digagas Arvan tersebut, seperti saya jelaskan di awal, memiliki fondasi kuat untuk tumbuh dan berkembang menjadi sebuah pemikiran yang brilian. Bahkan, saya melihat bahwa pemikiran Arvan ini bisa dikembangkan lebih jauh ke hal-hal yang aplikatif dan berguna bagi banyak orang. Terlepas dari segala kelemahan yang ada, buku ini merupakan sebuah buku yang menarik untuk dibaca bukan karena menjual mimpi, melainkan mengajak orang untuk melihat secara mendalam melalui sebuah kajian teoritis yang dibangun secara serius. |
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home