Howl

Diposting secara otomatis dari milis psikologi transformatif.

Friday, November 14, 2008

Re: [psikologi_transformatif] BAGAIMANA? (Re: Mengapa Saya Tidak Keberatan UUP Disahkan --> Re: Supaya diskusi

Selama UU ini belum diterapkan, maka semua diskusi baru bersifat teoritis. Lha, kalau sudah diterapkan, maka orang akan melihat dengan jelas baik atau brengsek-nya. Orang indonesia perlu belajar dari pengalaman, bukan dari diskusi intelektual.

h


From: ratih ibrahim <personalgrowth@gmail.com>
To: psikologi_transformatif@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, November 11, 2008 5:33:54 AM
Subject: Re: [psikologi_transformatif] BAGAIMANA? (Re: Mengapa Saya Tidak Keberatan UUP Disahkan --> Re: Supaya diskusi

KURANG GAWEAN, THA?

2008/11/11 audifax - <audivacx@yahoo.com>

Kira-kira bagaimana melakukan penelitian secara kualitatif terhadap UUP?
 
 
Mohon pencerahannya
 
 


--- On Tue, 11/11/08, pradita@telus.net <pradita@telus.net> wrote:
From: pradita@telus.net <pradita@telus.net>
Subject: [psikologi_transformatif] Re: Mengapa Saya Tidak Keberatan UUP Disahkan --> Re: Supaya diskusi
To: psikologi_transformatif@yahoogroups.com
Date: Tuesday, November 11, 2008, 5:38 AM

Halo Mbak Swas,

Semoga sudah kembali beraktifitas dan menikmati liburan akhir pekan kemarin.
Saya sekadar maau nyambung diskusi kita yang terputus kemarin.

Saya akan mulai dengan persoalan makna "DAPAT" dan "DENGAN SENGAJA". Dalam
sistem hukum pidana kita, formulasi "DENGAN SENGAJA" itu sudah lazim dipakai.
Seseorang yang "dengan sengaja" menghilangkan nyawa orang lain beda pasal serta
bobot hukumannya dibandingkan dengan melakukan "kelalaian" yang menyebabkan
hilangnya nyawa orang lain. Kesengajaan dapat dibuktikan (ada perencanaan) ,
sementara kalau "DAPAT" itu masih berupa potensi, dan semestinya belum bisa
dikenai pidana. Wong baru potensial kok. Ini kalo maknanya "opsi" lho ya. Kalau
makna "DAPAT" di situ berarti "kemampuan", maka yang mampu dalam UU Porno ini
materinya ataau orang yang melihatnya? Kalau orang yang melihat, semestinya
yang dikenai pidana ya orang itu, bukan materinya yang dilarang.

Jadi kalau Anda bilang "DAPAT" itu berarti "tinggal selangkah lagi untuk
dibuktikan", ini malah aneh, karena langkah terakhir untuk membuktikan itu
menemui gang buntu, karena ya masih potensial itu tadi. Sementara, perbedaan
antara "khilaf" dan "sengaja" justru lazim dipakai, lihat saja KUHAP. Hukum RI
yang pakai rumusan "DAPAT" untuk menghukum orang adalah UU Subversif zaman Orba
dulu. Baru dicurigai sudah bisa masuk bui, meski belum melakukan apa-apa,
karena dianggap "DAPAT" membahayakan negara.

Contoh peniti yang Anda berikan justru tak tepat sasaran. Kalau Anda mati kena
tusuk peniti, maka berapa berat hukuman penusuknya akan sepenuhnya ditentukan
apakah itu kelalaian (khilaf) atau kesengajaan. Anda sendiri sih udah mati
(kalau memang peniti itu karatan dan bikin infeksi), jadi nggak perlu
dibuktikan lagi. Yang perlu dibuktikan itu sengaja atau tidaknya si pelaku.

Anda kemudian juga menyatakan "kesan bisa diukur"? Bagaimana sih caranya
mengukur impresi? Alat ukurnya apa? Akan sangat menarik membacaa penjelasan
Mbak Swas tentang hal ini, yang sama sekali baru buat saya. Tolong saya
dicerahkan deh.

Selanjutnya, Anda menyatakan bahwa pelanggaran kesusilaan ditentukan oleh adat
tempat seseorang hidup. Bisa jadi betul. Tapi UU Porno ini hukum nasional, Mbak
Swas, bukan level Perda. Kalau hukum nasional dia harus bisa memayungi seluruh
pelosok negeri dari Sabang sampai Merauke. Jadi aneh kalau ada hukum nasional
yang berisi larangan-larangan dan sanksi-sanksi, tapi lalu memulangkan norma-
normanya ke adat-istiadat masing-masing daerah di NKRI. Saya ingin tahu apakah
ada UU lain di bumi Indonesia ini yang unik seperti ini? Kita ini masih KNRI
atau sudah jadi republik federal? Jika betul maksud UU ini seperti yang Anda
katakan, maka sebetulnya UU ini sudah melanggar sumber hukum yang lebih
fundamental, yaitu UUD.

Contoh yang Anda berikan, yaitu orang Papua boleh pakai koteka di Papua tapi
tak bisa pakai koteka di NAD, ini menurut saya bisa menyesatkan, Mbak Swas.
Kalau logika yang sama dipakai secara terbalik bagaimana? Bagaimana dengan
orang NAD berjilbab yang ke Papua? Boleh nggak dia pakai jilbabnya di Papua
sana atau harus ikut adat orang Papua yang pakai rok dari rumbai-rumbai? Sekali
lagi, jika betul bahwa ini adalah semangat yang jadi landasan UU Porno itu,
maka betul kata banyak penentang: UU ini memang akan menjadi alat pemecah-belah
bangsa.

Lalu, Anda katakan (saya kutipkan): "dalam kasus UUP ini, saya tidak melihat
apa batasan pornografi dan susila pada masing2 orang, melainkan melihat apakah
UUP ini bisa diterima secara umum (walaupun pasti akan membatasi kebebasan
orang per orang sampai derajat tertentu)." Apa yang Anda maksud dengan "bisa
diterima secara umum"? Ketika UU ini memicu kontroversi yang begitu besar dan
mengkotak-kotakkan masyarakat secara sangat tajam, apakah ini bisa disebut
sebagai "diterima secara umum"? Ataukah Anda maksudkan "umum" di sini
sebagai "mayoritas"? Jika ya, perlu dirinci dulu, mayoritas dari aspek apa?
Ras, agama? Jika ini yang dimaksud, yang manapun kategori yang diacu oleh
kata "mayoritas" itu, maka tetap akan bermasalah serius, sebab berarti negeri
ini tak lagi dipahami sebagai sebuah negara kesatuan.

Kemudian, Anda bertanya: "apakah ada [orang "normal"] yang bisa secara tegas
mengatakan hasrat seksualnya tidak pernah terbangkit saat melihat adegan
persenggamaan? " Jawabannya akan sama kaburnya dengan pertanyaannya, Mbak
Swas. "Persenggamaan" yang kaya apa dulu nih? Kalo persenggamaan antara manusia
dan binatang, "orang normal" yang Anda maksud tentu tak akan terangsang. Kalo
persenggamaan antara pasangan homoseksual, "orang normal" yang Anda maksud juga
tak akan terangsang. Bukan begitu? Jadi, campur-aduk inilah yang bikin pasal
ini jadi kacau dan keefektifan operasionalnya sangat diragukan, kalau kita
melihat ketidakjelasan ini saja.

Pengumuman proklamasi RI oleh Sukarno-Hatta rasa-rasanya tak cocok untuk
dijadikan sebagai analogi UU ini, Mbak Swas. Proklamasi dilakukan dalam keadaan
serba darurat, memanfaatkan air keruh usainya perang dunia II ketika sekutu dan
Jepang sama-sama sibuk. Pasangan proklamator itu sampai mesti diculik dulu ke
Rengasdengklok dan "dipaksa" membuat draft kasar proklamasi untuk dibacakan.
Lha UU ini daruratnya di mana? Ini zaman merdeka dan tak ada Jepang atau
Belanda yang akan masuk kampung. Masalahnya, Pansusnya saja yang tak mau terima
masukan. Dan akibat dari sikap Pansus yang tidak demokratis ini, UU yang
dihasilkannya pun sarat masalah. Namun, sebetulnya, kedaruratan juga tak boleh
dijadikan justifikasi setiap saat. Pengumuman kemerdekaan AS dari kolonialisme
Inggris dilakukan dengan rapi, bahkan preamble Konstitusinya saja sudah siap
dan ditandatangani oleh banyak tokoh yang mewakili berbagai daerah.

Mbak Swas, pertanyaan Anda: "adakah UU yang tidak bermasalah di Indonesia?"
yang lalu disusul dengan pernyataan bahwa kalau memang ini "standar" pembuatan
UU di Indonesia, maka kita mau apa lagi, menurut saya tak kalah sarat dengan
masalah. Jelas ada UU lain di Indonesia yang bermasalah, dan semua itu bukannya
tidak ditolak atau dilawan. UU Pilpres sedang ditentang, UU Sisdiknas dulu
hampir sama kontroversialnya dengan UU Porno, UU Air sangat kontroversial dan
sampai kini tetap dilawan. Sangat wajar jika semua orang yang punya kepedulian
terhadap nasib bangsa dan negeri tempat ia hidup punya keprihatinan terhadap
kualitas berbagai UU yang dihasilkan DPR. Jika "standar" yang sedemikian rendah
itu diterima begitu saja tanpa gugatan, tak akan ada yang berubah di negeri ini
sejak zaman kumpeni dulu, Mbak Swas. Dunia berubah karena manusia peduli, dan
karena mereka selalu berusaha memperbaiki situasi alih-alih menerima saja
situasi apapun yang disodorkan kepada mereka. Mudah-mudahan bukan ini
sebetulnya sikap Anda ketika Anda berkata bahwa Anda menerima "anomie" itu.

Maaf, Mbak Swas, karena jika betul inilah sikap Anda sebenarnya, yaitu "terima
saja standar apapun yang ada", maka memang betul bahwa diskusi ini sudah harus
berakhir di sini. Saya secara pribadi sesungguhnya mengharapkan lebih daripada
sekadar itu dari seseorang seperti Anda. Kalau dari manusia macam Hendrik
Bakrie, saya memang tak bisa mengharapkan apa-apa.

Ke bawah, Anda katakan: "Tapi sebenarnya saya jadi bingung: sebenarnya
masalahnya dimana? Karena UUP yang dihasilkan tidak sesempurna yang diusulkan
karena Pansus tidak mengakomodasi masukan? Atau karena isi UUP-nya sama sekali
tidak bisa diterima?" Saya pikir pertanyaan ini menjurus ke arah debat kusir.
Sudah sangat jelas mestinya masalahnya di mana: jika UU tidak sempurna, dan ada
masukan yang bisa menyempurnakannya, tapi Pansus tak mau dengar, maka jelas
akibatnya adalah produk UU-nya jadi bermasalah. Justru saya nih yang sekarang
jadi bingung kok hal segamblang ini bisa bikin Anda bingung? Perlu dicatat
bahwa "tak sempurna" itu sebutan yang terlalu halus untuk merujuk pada
persoalan yang ada dalam UU ini. Istilah yang lebih persis adalah bahwa dari
segi hukum UU ini mengandung cacat karena definisinya tak dapat
dioperasionalkan karena bergaia hal yang sudah dilontarkan para penentang
selama ini.

Anda katakan juga: "Sebab, walaupun ada masalah, jika isinya masih dapat
diterima, saya cenderung menerimanya. Seperti yang saya lakukan saat ini. Saya
tidak melihat prosesnya. Ibarat makanan, saya lihat masakannya enak, saya tahu
tidak mengandung racun, ya saya makan. Saya tidak akan mempertanyakan bahwa
harusnya bumbunya ditambah ini, biar lebih bermanfaat bagi kesehatan." Ini juga
cenderung mementahkan lagi diskusi yang sudah berkembang sejauh ini. Saya pikir
sudah amat jelas diterangkan bahwa yang bermasalah itu isi UU ini, jadi aneh
ketika Anda katakan bahwa "walaupun ada masalah" tapi "isinya masih dapaat
diterima". Bukankah yang dipersoalkan banyak orang termasuk Bung Harez, adalah
isi serta pasal-pasalnya? Analogi makanan enak vs sehat juga tidak pas, Mbak
Swas. UU itu harus bisa menjadi sebuah patokan ideal, bukan subsisten. Makanan
yang ideal adalah yang sehat dan enak, bukan cuma enak. Kalau kita membuat
suatu ancangan makanan, maka patokan yang semestinya dipakai ya yang ideal. itu
kalau bangsa ini mau jadi bangsa yang sehat, bukan cuma yang kenyang makan.
Kalau ini dipakai sebagai analogi UU Porno, hanya akan makin membuka borok pada
UU itu.

Membandingkan UU ini dengan kasus Lapindo untuk menentukan derajat kepentingan
serta bagaimana kita mesti bersikap juga tak tepat dan misleading. Jika kita
ikuti berbagai diskusi di mili-milis besar lain (mediacare, FPK) maka
kepedulian terhadap isu UU Porno dan isu Lapindo berjalan bersama-sama, tidak
pakai harus pilih yang ini atau yang itu. Seandainya Lapindo adalah kasus yang
jauh lebih darurat daripada UU Porno dan wajib dipikiri seluruh bangsa, saya
terus terang belum melihat--paling tidak di milis Psi-Trans ini--bahwa Mbak
Swas aktif dan vokal berbicara menggugat Lapindo dalam intensitas seperti
diskusi kita tentang Uu Porno saat ini. Saya bukannya mau mempertanyakan
integritas Anda, tapi pernyataan Anda sendiri yang menuntut wujud konkrit dari
sikap Anda (terhadap isu Lapindo). Jika tidak, maka memang pembandingan UU
Porno dan kasus Lapindo tidak pada tempatnya.

Tak ada yang ironis di sini, Mbak Swas. Saya khawatir Anda mempersepsikan
diskusi antara Anda dan para penentang UU di milis ini secara tidak pas. Fakta
bahwa sebagian besar penentang UU Porno di milis ini adalah laki-laki justru
menunjukkan bahwa persoalan yang ditimbulkan UU ini bukan hanya persoalan
perempuan, melainkan persoalan seluruh warga negara, tak peduli apa jenis
kelamin atau gendernya. Kalau kesan ironis ini dibenarkan, maka bisa dengan
mudah lahir ironi lain: kaum laki-laki saja mau peduli terhadap persoalan yang
terkandung dalam UU ini, lha yang perempuan--yang konon lebih terancam
kebebasannya oleh UU ini--malah menyatakan diri tak peduli karena ya memang
sudah beginilah keadaannya di Indonesia, mau apa lagi?

Saya nantikan kabar selanjutnya dari Anda, jika sudah tidak terlalu capek atau
sibuk.

Quoting was_swas <was_swas@yahoo. com>:

>
> Pak Man, sebenarnya jawaban untuk posting ini bertumpang tindih dengan
> jawaban saya untuk Bang Harez yang baru saya kirimkan. Beberapa bagian
> nanti saya acukan ke sana :)
>
> > Bukankah batasan permasalahan menentukan kerangka keseluruhan skripsi?
> Jika
> > antara batasan yang ada di bab I dan isi skripsi di bab-bab
> selanjutnya tak
> > berkaitan, apakah ini skripsi yang layak uji dan pantas diluluskan?
> Adalah
> > pasal 1 dalam UU yang menjadi pengikat dan bingkai pasal-pasal yang
> ada dalam
> > UU sebab di situlah pornografi diberi batasannya, dan UU ini namanya
> UU
> > Pornografi.
>
> Betul, batasan permasalahan menentukan kerangka keseluruhan skripsi. Itu
> sebabnya saya mengambil skripsi sebagai analogi. Karena menurut saya
> antar pasalnya berkaitan. Bab 1 (dimana termuat pasal 1) menjadi
> batasan2nya, Bab II & Bab III menjadi penjelasan dari Bab I, dan Bab IV
> - V merupakan diskusi/kesimpulan berkaitan dengan masalah yang dibatasi
> di Bab I serta dijelaskan pada Bab II - III.
>
> > Tapi, bahkan kita perlu bertanya lagi apaka analogi UU dan skripsi ini
> > berterima? UU dampaknya adalah ke seluruh warga negara, dan nasib
> banyak orang
> > sedikit-banyak ditentukan oleh isi UU itu. Jadi, saya tak yakin
> perbandingan
> > ini cocok untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya sedang
> dipermasalahkan dalam
> > diskusi ini. UU juga tak punya landasan teori, seperti skripsi.
> Landasan UU
> > adalah kemaslahatan bagi seluruh warga.
>
> Karena saya melihat bangunannya dari Bab I - V saling berkaitan, maka
> saya tidak terlalu khawatir dengan hasil "skripsi" ini di atas kertas.
>
> > Tapi lagi, andaikanlah Anda sampai titik ini benar. Tak usah repot
> > mempermasalahkan definisi yang cuma "latar belakang", dan fokus saja
> pada
> > detilnya ("landasan teori"). Mari kita lihat sekarang detil tersebut:
>
> OK deh... memang analogi itu untuk mempermudah menjelaskan maksud, bukan
> untuk dibahas :)
>
> > Pasal 4 ayat 1 butir h: ketelanjangan atau yang mengesankan
> ketelanjangan.
> > Tentu "ketelanjangan" bisa menghasilkan persepsi cukup seragam. Tapi
> bagaimana
> > dengan "mengesankan ketelanjangan" ? Apakah KESAN bisa dijadikan tolok
> ukur
> > untuk penilaian objektif? Patutkah sebuah dokumen hukum memuat butir
> yang
> > mengandalkan diri pada kata "mengesankan" ? Kalau "telanjang" bisa
> dibuktikan
> > tanpa terlalu repot di depan hakim, tapi kalau "mengesankan"
> ketelanjangan,
> > bukti mana yang diterima sebagai valid? KESAN kan terletak di mata dan
> benak
> > yang memandang, bukan di objek yang dipandang?
>
> > Jika dikakitkan dengan Pasal 1, bukankah ini memperlihatkan pola
> kekaburan dan
> > subjektifitas tinggi seperti pada pasal 1, khususnya di bagian yang
> > berbunyi "dapat membangkitkan hasrat seksual"? Kalau "sengaja
> bertujuan
> > membangkitkan hasrat seksual" masih mudah dibuktikan di pengadilan.
> Tapi
> > kalau "dapat" membangkitkan hasrat seksual, lagi-lagi kesan subjektif.
> "Dapat"
> > bisa berarti "(masih) berpotensi" dan belum terjadi. Dapat berati pula
> "mampu".
> > Dapat berarti pula "opsional", seperti halnya saya memakai kata
> "dapat" dalam
> > tiga kalimat terakhir saya ini.
>
> Saya malah melihatnya terbalik, Pak :). Menurut saya "DAPAT" itu tinggal
> selangkah lagi dibuktikan. Sementara kalau "SENGAJA" malah kabur.
>
> Siapa yang dapat membuktikan seseorang sengaja atau khilaf, misalnya?
> Sebab, khilaf artinya tidak sengaja. Karena pada saat khilaf, untuk
> sesaat tidak berada dalam kontrol diri. Apa tidak membuka peluang semua
> orang nantinya mengaku khilaf?
>
> Beda dengan kata "dapat", karena bisa dituntut pembuktiannya. "Dapat"
> memang artinya "belum". Tapi tetap harus bisa dibuktikan, kan? Misalnya
> saya menggugat orang yang nggak sengaja menusuk saya dengan peniti,
> dengan alasan: saya "dapat" mati karena tertusuk peniti, tentu saya
> harus bisa membuktikan kan? Kalau tidak, itu hanya kata2 kosong.
> Pembuktiannya bagaimana? Bisa dengan menunjukkan bahwa peniti itu
> berkarat atau beracun sehingga siapa pun (bukan hanya saya) dapat mati
> karena tertusuk itu. Bisa menunjukkan bahwa peniti itu berbahaya, bukan
> saya yang rentan.
>
> Demikian pula mengenai KESAN. Setahu saya, kesan bisa diukur. Dan
> tentunya itu menjadi bagian dari pembuktian. Pun, bila terbukti
> "terkesan telanjang", jika ini menyangkut suku tertentu, masih ada
> escape route pada Pasal 14.
>
> > Pasal 4 ayat 1 butir i: alat kelamin.
> > Jadi jika dimasukkan dalam bingkai definisi Pasal i, maka "materi
> seksualitas"
> > yang memuat "alat kelamin" (serta) yang "dapat membangkitkan hasrat
> seksual".
> > Lagi-lagi penentunya adalh Pasal 1 yang Anda anggap cuma "latar
> belakang" dan
> > tak sepenting pasal-pasal detil ("landasan teori"). memang betul ada
> > tambahan "atau melanggar kesusilaan", tapi ini tak menghilangkan
> adanya
> > opsionalitas: kalau tidak A, ya B (pilih salah satu). Tapi, apakah
> masyarakat
> > Indonesia yang majemuk ini betul sudah punya standar kesusilaan yang
> sama?
>
> Memang tidak. Tapi itu lantas kembali pada pembuktiannya ya? Apakah
> benar melanggar kesusilaan? Kesusilaan siapa? Tentunya tempat dia hidup.
> Adab yang berlaku di tempatnya hidup. Jika adab di tempatnya hidup
> menerimanya sebagai ritual keagamaan/adat istiadat/seni budaya, Pasal 14
> dapat dijadikan landasan.
>
> Menurut saya ini sudah cukup menjamin "kebebasan" komunitas yang
> memiliki norma susila berbeda berkaitan dengan keagamaan/adat/ budayanya.
> UU ini tidak dimaksudkan untuk melarang orang Papua berkoteka atau
> wanitanya bertelanjang dada di Papua. Tapi, menurut saya cukup wajar
> jika ada UU yang membatasi agar orang Papua tidak berkoteka atau
> wanitanya tidak bertelanjang dada ketika berada di NAD, misalnya :)
>
> > KESAMAAN ini yang tampaknya Anda asumsikan. Betul bahwa semua orang
> "normal"
> > sama-sama bisa terbangkit hasrat seksualnya. Tapi derajat seksualitas
> seperti
> > apa yang bisa membangkitkan hasrat seksual TIDAK SAMA dari satu orang
> ke orang
> > lain. Demikian pula, hal apa persisnya yang bisa membangkitkan hasrat
> seksual
> > itu juga tak sama pada semua orang "normal". Misalnya, apakah
> "ketelanjangan
> > atau yang mengesankan ketelanjangan" akan menyebabkan responsi sama
> secara
> > seksual pada setiap orang? Apakah muatan eksplisit "alat kelamin" akan
> > menimbulkan hasrat seksual pada setiap orang? Atau di mata setiap
> orang
> > dinilai "melanggar kesusilaan"?
>
> Betul. Memang tidak sama. Setiap orang pasti berbeda :)
>
> Oleh karena itu, dalam kasus UUP ini, saya tidak melihat apa batasan
> pornografi dan susila pada masing2 orang, melainkan melihat apakah UUP
> ini bisa diterima secara umum (walaupun pasti akan membatasi kebebasan
> orang per orang sampai derajat tertentu).
>
> > Anda nyatakan bahwa pertanyaannya harus terfokus pada: "benarkah apa
> yang
> > dituliskan dalam Pasal 4 ayat 1 ini dapat membangkitkan hasrat
> seksual?
> > Bukankah jawabnya lagi-lagi adalah TERGANTUNG pada KESAN siapa dan
> hasrat
> > seksual SIAPA yang dapat terbangkitkan olehnya?
>
> > Anda juga katakan: "Jika jawabannya "Ya", maka sebenarnya tidak ada
> masalah
> > dalam pemilihan bahasanya. Jika kemudian ada yang menggunakan Pasal 1
> sebagai
> > dasar, justru malah menimbulkan pertanyaan: kenapa memperluas sesuatu
> yang
> > sudah dikerucutkan? " Iya kalo jawabnya YA. Bagaimana kalau jawabnya
> TIDAK?
> > Berati ada masalah dong. Lalu, atas dasar atau pertimbangan apa YA
> atau TIDAK
> > ini akan diputuskan? Bukankah kuncinya terdapat pada kata "dapat"
> (Pasal 1)
> > dan "mengesankan" (Pasal 4) yang sama-sama mengambang itu?
>
> Saya agak bingung, Bapak sedang membicarakan pasal2nya, atau sedang
> mensimulasikannya dalam sebuah gugatan? Jika sedang mensimulasikan dalam
> sebuah gugatan, jawaban saya adalah seperti pada contoh lukisan
> Anjasmara pada posting untuk Bang Harez.
>
> Jika Bapak sedang membicarakan pasal2nya, maka respons saya adalah:
> apakah ada [orang "normal"] yang bisa secara tegas mengatakan hasrat
> seksualnya tidak pernah terbangkit saat melihat adegan persenggamaan?
>
> Jika memang ada, maka memang Bapak benar, ayat ini sangat ambigu. Tapi
> jika tidak, maka menurut saya baik2 saja. Dan saat ini saya masih yakin
> bahwa adegan persenggamaan adalah salah satu yang dapat membangkitkan
> hasrat seksual. Demikian juga butir-butir lain pada Pasal 4.
>
> > Pasal 6: "perundang-undangan ".
> > Perundang-undangan mana yang mengatur siapa yang punya
> > wewenang "mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan
> produk
> > pornografi"? Sudah adakah? Sudah jelaskah isinya? Jika belum, maka
> kekhawatiran
> > Bude Ratih masih beralasan untuk dilontarkan dan tak bisa dianggap
> selesai
> > begitu saja dengan adanya UU ini.
>
> Saya melihat Pasal 6 ini sebagai acuan pada UU lain, termasuk KUHAP.
> Jika belum ada UU-nya, berarti harus segera dibuat. Kalau memang belum
> ada, ya berarti belum ada hukumnya toh? Berarti belum ada yang bisa
> dilanggar. Tak perlu khawatir :)
>
> Saya melihatnya lebih seperti ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan
> kemerdekaan RI dengan mengatakan "hal2 yang menyangkut pemindahan
> kekuasaan, akan dilangsungkan dengan seksama dan dalam tempo yang
> sesingkat2nya" ;) Tentu kebelumadaan UUD-45 tidak dapat membuat
> kemerdekaan kita tidak ada.
>
> > Pasal 10: terkait dengan analisis Neon. Anda bisa menerima validitas
> keberatan
> > Neon, dan menurut Anda, silakan diusulkan saja untuk diperbaiki.
> Persoalannya,
> > bagaimana mau diusulkan untuk diperbaiki jika sudah disahkan? Kalau
> diajukan di
> > MK dan gugatan dimenangkan, apakah keseluruhan UU tidak akan terancam
> gugur?
> > Kembali ke sejarah proses perumusan RUU yang saya katakan menimbulkan
> "fobia"
> > pada banyak penentang itu, pertanyaannya adalah: mengapa ketika Pansus
> DPR
> > diberi masukan tentang pasal-pasal bermasalah, mereka bukannya
> memperbaikinya
> > tetapi lebih suka mengesahkannya terus?
>
> Wah, kalau ditanya "mengapa", saya sih nggak tahu, Pak? HAHAHAHA... Lha
> wong saya nggak ada di sana ;-) Saya kan hanya seorang WNI yang membaca
> UUP yang sudah jadi dan merasa bisa hidup dengan itu ;-)
>
> Tapi inilah yang membuat saya tidak mengambil sikap "mendukung" UUP.
> Saya merasa kita bisa hidup dengan itu, jadi tidak punya alasan untuk
> menolaknya. Kalau yang lain merasa perlu menolak, ya silakan :)
>
> > Betul seperti kata Anda, bagi Anda pribadi, hal ini tak jadi masalah
> karena
> > Anda tak peduli apakah UU ini ada atau tidak, disahkan atau tidak.
> Tapi, ini
> > tidak menghilangkan fakta bahwa naskah UU-nya bermasalah, bukan? Pssal
> 10 pun
> > juga kena getah ketidakjelasan Pasal 1 dan 4.
>
> Hmm... adakah UU yang pasalnya tidak bermasalah di Indonesia? Jika
> memang UU yang lain tidak bermasalah, maka memang UUP ini bermasalah.
> Jika masalah ketidakjelasan ada di setiap UU, maka sebenarnya secara
> umum "tidak bermasalah". Karena memang standar-nya UU di Indonesia
> bermasalah :-)
>
> Saya terbiasa melihat masalah pada UU, sehingga nggak kaget dengan UUP
> ini :)
>
> > Memang jika terjadi dispute, pengadilanlah yang akan memutuskan siapa
> yang
> > betul dan siapa yang salah. Tapi tunggu dulu, pengadilan hanya dapat
> memutuskan
> > betul atau salahnya sesuatu di dalam suatu kasus spesifik. Pengadilan
> tidak
> > dapat dan tidak berhak memutuskan bunyi rumusan UU-nya betul atau
> salah. Jadi,
> > bisa dibayangkan orang yang didakwa melanggar pasal-pasal karet ini
> akan begitu
> > susahnya mengurus keadilan akibat pasal-pasal UU yang tidak bersifat
> "humanly
> > objective" dan "sengaja" membuka pintu bagi multitafsir (saya
> > katakan "sengaja", sebab Pansus sudah diberi masukan tapi tak
> menghiraukannnya) .
>
> Hmmm... saya memang tidak mengatakan bahwa pengadilan berhak memutuskan
> BUNYI rumusan UU benar atau salah :) Arah saya memang tidak ke sana :)
> Tapi, kalau kita bicara tentang sistem peradilan (dengan mengesampingkan
> trust issue), maka justru keadilan itu diputuskan pada pengadilan. Itu
> sebabnya kita tidak perlu khawatir dengan pasal yang tidak spesifik,
> karena nanti akan ada pembuktian.
>
> Kalau kita memasukkan unsur trust issue di sini, maka memang tanpa UUP
> ini pun akan sulit mengurus keadilan :) Ada juklak yang pasti aja
> pelanggaran pasti terjadi kok, kalau petugasnya korup ;)
>
> > Pasal 11 dan 12: pornografi anak
> > Kedua pasal ini belum jelas efektif melindungi anak sepenuhnya. Apakah
> UU ini
> > secara implisit memungkinkan pihak-pihak yang "diberi kewenangan oleh
> perundang-
> > undangan" untuk melibatkan anak-anak dalam produksi-konsumsi
> pornografi? Salah
> > satu kritik para penentang adalah bahwa UU yang disebut-sebut
> melindungi anak-
> > anak ini tidaklah betul-betul melindungi anak-anak. Jika tujuannya
> demikian,
> > mengapa masukan agar pasal-pasal tentang perlindungan anak dipertajam
> dan
> > diberi fokus lebih besar tidak ditanggapi Pansus? Pertanyaan ini tentu
> tidak
> > dimaksudkan agar dijawab oleh Anda. Pertanyaan ini mengindikasikan
> bahwa ADA
> > masalah dalam naskah UU yang disahkan. Dan semua masalah itu BISA
> dicegah,
> > tetapi somehow Pansus memutuskan tidak mencegahnya dan membiarkannya
> saja untuk
> > tetap disahkan.
>
> Syukurlah saya tidak diminta menjawab pertanyaan itu ;-) Kemarin saya
> kira seluruh beban menjawab ada di saya ;-)
>
> Tapi sebenarnya saya jadi bingung: sebenarnya masalahnya dimana? Karena
> UUP yang dihasilkan tidak sesempurna yang diusulkan karena Pansus tidak
> mengakomodasi masukan? Atau karena isi UUP-nya sama sekali tidak bisa
> diterima?
>
> Sebab, walaupun ada masalah, jika isinya masih dapat diterima, saya
> cenderung menerimanya. Seperti yang saya lakukan saat ini. Saya tidak
> melihat prosesnya. Ibarat makanan, saya lihat masakannya enak, saya tahu
> tidak mengandung racun, ya saya makan. Saya tidak akan mempertanyakan
> bahwa harusnya bumbunya ditambah ini, biar lebih bermanfaat bagi
> kesehatan.
>
> > Ya itu dia masalahnya, Mbak Swas. Pornografi menurut siapa? Makanya
> definisi
> > Pasal 1 dan 4 digugat. Asumsi bahwa "adat istiadat kita mengandung
> pornografi"
> > ini perlu dikaji dulu kebenarannya. Dia hanya menjadi benar jika
> pengertian
> > pornografi yang dipakai adalah pengertian pada UU ini. Padahal, jika
> > kata "dapat" (Pasal 1) dipertajam dengan "dengan sengaja dimaksudkan
> untuk
> > (membangkitkan hasrat seksual) dan "mengesankan ketelanjangan" (Pasal
> 4)
> > dibatasi saja menjadi "ketelanjangan" , maka ada banyak persoalan
> benturan
> > dengan adat ini yang bisa dieliminasi. Tapi lagu-lagi Pansus
> bersikeras
> > mengesahkan rumusan yang kabur ini. Jadi, ADA masalah pada naskah UU
> yang sudah
> > disahkan ini. Dan itula sebabnya para penentang menolak pengesahannya.
>
> Soal "mengesankan ketelanjangan" ini saya jawab di email untuk Bang
> Harez ya. Atau untuk Bidadari Cantik? Lupa. Mohon mengacu ke sana :)
>
> > Dampaknya pada adat, tradisi dan seni budaya juga tak hanya soal
> ISTILAH belaka
> > seperti Anda nyatakan. Dampaknya berupa kekerasan non-fisik, namun
> tetaplah
> > merupakan kekerasan, karena ada adat, tradisi dan seni yang akan
> mendapat
> > STIGMA sebagai "pornografi. " Tidakkah ini berdampak serius pada
> pemeluk adat,
> > tradisi, seni tersebut? Bagi mereka, apa yang mereka praktikan itu
> tidak
> > dimaksudkan membangkitkan hasrat seksual dan menurut tata nilai mereka
> > tidak "melanggar kesusilaan" komunitas mereka, tapi negara melalui UU
> ini
> > mengategorikan praktik lokal itu sebagai "pornografi. " Tidakkah ini
> sebuah
> > MASALAH besar bagi mereka, Mbak? (Memang bukan bagi Anda pribadi,
> sebab itu
> > bukan adat, tradisi, kesenian Anda. Tapi mengapa kita tidak bisa
> peduli pada
> > persoalan saudara sebangsa dan sesama rakyat?).
>
> Nah, ini nih yang saya nggak suka :) Seolah2 kalau saya tidak menolak
> UUP, berarti saya tidak peduli pada persoalan saudara sebangsa dan
> sesama rakyat ;)
>
> Menurut saya, stigma itu adalah produk subyektivitas dari orang per
> orang. Tidak ditentukan oleh UU. Apa pun yang dikatakan oleh UU, tetap
> saja stigma dapat muncul. Ini analog dengan stigma terorisme yang
> dilekatkan pada Islam. Bahkan jika ada UU yang mengatakan dengan tegas
> bahwa Islam tidak identik dengan terorisme pun, stigma tetap ada.
>
> Bagi saya, yang terpenting adalah UU itu menjamin kelangsungannya atau
> tidak. Dan menurut saya, dalam UUP ini masih terjamin.
>
> > Mengenai pemblokiran internet (implikasi Pasal 19 dan 20). Mbak Swas
> katakan,
> > soal ini "bisa dibicarakan baik-baik." Bagaimana caranya, Mbak? UU ini
> udah
> > ketok palu. Selama proses perumusan sudah diberi banyak masukan, tapi
> tak
> > diindahkan. Bicara baik-baik sudah ditempuh kok. Tapi sekarang kan
> sudah
> > disahkan, apa lagi yang mau dibicarakan dengan baik?
>
> Sepenangkapan saya, memang internet akan dibatasi. URL tertentu
> diblokir. Dan saya tidak bermasalah dengan itu :)
>
> Yang saya maksud dibicarakan baik2 adalah: membicarakan mana URL yang
> memang akan diblokir. Kalau terjadi pemblokiran URL (atau bahkan situs
> seperti kebodohan pemerintah beberapa waktu lalu), tentu bisa kita gugat
> balik bahwa ini tidak mengandung pornografi. Selanjutnya, jika ada
> dispute, maka kita akan selesaikan sesuai prosedur hukum.
>
> > Mengenai pasal-pasal tentang peran-serta masyarakat dalam "pencegahan"
> > dan "pembinaan". Masalahnya bukan terletak pada salah baca UU-nya,
> Mbak.
> > Soalnya adalah UU ini sengaja memakai kata-kata yang amat terbuka,
> > seperti "pencegahan" dan "pembinaan". Saya ingin tahu, apa yang ada di
> benak
> > Anda jika "pencegahan" dan "pembinaan" ini harus diwujudkan dalam
> implementasi.
> > Tindakan-tindakan apa saja yang termasuk dalam kedua kategori ini?
> Akankah sama
> > dengan yang ada di benak tetangga Anda, hansip di kelurahan sebelah,
> FPI di
> > Petamburan, dll? Bahkan ayat 2 yang mengatur pelaksanaan yang
> "bertanggung
> > jawab dan sesuai perundang-undangan" pun dibiarkan terbuka. Bisa saja
> jika ada
> > orang yang sudah digebuki FPI lalu menuntut di pengadilan, dan akan
> ada dispute
> > panjang dan lama soal makna "pencegahan" , "pembinaan", "bertanggung
> > jawab" "sesuai perundangan" dsb. Tapi jika itu semua bisa dicegah
> dengan
> > membuat rumusan yang lebih konkrit dan spesifik, kenapa itu tak
> dilakukan oleh
> > Pansus? Bukan cuma satu keganjilan dengan Pansus ini, tapi ada banyak,
> Mbak.
> > Makanya naskah UU ini dipandang bermasalah dan ditolak pengesahannya.
>
> Mengenai hal ini saya sudah jawab untuk Bang Harez. Di posting sebelum
> ini kalau nggak salah :) Mohon mengacu ke sana.
>
> > Sebagai summary, saya sampaikan bahwa MASALAH tidak terletak pada
> pernyataan
> > Anda bahwa Anda tak punya masalah dengan UU ini. Masalahnya ada pada
> NASKAH UU
> > PORNO itu. Dan semua masalah itu bukanlah masalah yang tak bisa
> dihindarkan.
> > Bisa dan mudah dan cepat, asal ada kemauan politis dari Pansus dan
> DPR.
> > Nyatanya, hal itu tak terjadi dan UU sudah disahkan. Ini menjelaskan
> mengapa
> > kini UU ditolak sebagai UU bermasalah oleh para penentang.
>
> > Bahwa Anda pribadi tak peduli dengan UU ini, sikap itu harus dihormati
> oleh
> > para penolak UU. Khususnya jika akar ketidakpeduliaannya terletak pada
> posisi
> > Anda sebagai "anomie". Namun, tidak mustahil bukan jika kita
> bersama-sama
> > mencoba menggali mengapa sikap itu diambil? Sebab, dalam paparan Anda
> tentang
> > pasal demi pasal, sikap Anda tampaknya cukup dibentuk oleh pendapat
> Anda bahwa
> > pasal-pasal dalam UU TIDAK bermasalah. Jadi, sikap itu tak hanya
> didasari oleh
> > posisi "anomie" belaka. Makanya, saya coba perlihatkan bahwa ADA lho
> masalah
> > dalam pasal-pasal itu.
>
> > Sekarang saya tunggu tanggapan Anda atas tanggapan saya. Itupun jika
> Anda masih
> > berminat melanjutkan diskusi. Jika And amemutuskan cukup sampai di
> sini saja,
> > saya pun memakluminya sebagai konsekuensi dari ke-"anomie"- an Anda.
> Dan diskusi
> > ini kita tutup secara baik-baik.
>
> HAHAHA... sebagai kesimpulan, saya mungkin harus ceritakan dari
> awaaaaaallll sekali posisi saya ;-)
>
> Saya meletakkan diri saya sebagai hidup dalam anomie. Saya hidup di
> tengah social breakdown. Segala hal yang ada di sekitar saya bermasalah.
> Oleh karena itu saya belajar berkompromi terhadap masalah yang ada.
> Dengan demikian, ambang saya terhadap masalah mungkin lebih tinggi
> daripada teman2 yang lain.
>
> Berkaitan dengan UUP, mungkin terminologi saya sejak awal salah ya, Pak
> ;)? Maksud saya dengan "tidak ada masalah" bukanlah "sempurna". Tapi
> dalam skala prioritas saya, masalah membicarakan UUP ini tidak
> signifikan:
>
> 1. Masalahnya lebih berakar pada trust issue terhadap sistem
> peradilan RI, kejengkelan pada Pansus, ketakutan pada sekelompok orang
> seperti FPI, daripada berakar pada pasal per pasal itu sendiri. Inilah
> yang menurut saya menimbulkan "fobia" pada masyarakat mengenai UUP, dan
> ini yang lebih penting dibahas daripada UUP.
> 2. Karena saya merasa hidup dalam social breakdown, saya meletakkan
> UUP ini dalam konteks dibandingkan dengan isyu2 sosial lainnya. Menurut
> saya isyunya tidak sepenting isyu sosial mengenai lumpur Lapindo,
> misalnya. Dalam lumpur Lapindo, korbannya jelas, dan mereka tidak bisa
> memilih untuk tidak jadi korban. Dalam UUP, korbannya masih bersifat
> hipotetis, dan mereka masih punya kemampuan memilih untuk tidak jadi
> korban (jika mereka mau kompromi dengan ini). Jadi... kalau sekarang
> saya disuruh memilih antara ikut menolak UUP atau menolak [misalnya]
> keputusan tentang lumpur Lapindo, mohon maaf, saya akan memilih yang
> terakhir :)
>
> Mau dilanjut diskusinya, monggo. Kalau Bapak masih merasa ada yang perlu
> didengar dari pendapat yang arahnya "berseberangan" (biarpun nggak 100%
> berseberangan ;)). Kalau sudah cukup jelas, ya monggo diakhiri saja.
> Pada dasarnya kan saya hanya menyumbangkan masukan dari sisi yang
> berseberangan :)
>
> Yang jelas, saya weekend off dulu ya, Pak :). Dan kalau Senin, saya
> malas cari thread jauh di belakang. Jadi kalau mau dilanjut, mulai Senin
> aja, atau Minggu malam :) Saya jawab sebisa saya.
>
> Ngomong2, Bapak memperhatikan ada ironi di sini nggak? Saya, seorang
> perempuan, harusnya lebih khawatir dengan pengesahan UUP ini. Tapi
> justru saya yang harus berhadapan dengan pria2 penentang UUP ini..
> HAHAHAHA... ;)
>
> Salam,
>
>




__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Instant smiles

Share photos while

you IM friends.

Yahoo! Groups

Do More For Dogs Group

Join a group of dog owners

who do more.

Special K Group

on Yahoo! Groups

Join the challenge

and lose weight.

.

__,_._,___

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home