Howl

Diposting secara otomatis dari milis psikologi transformatif.

Thursday, November 13, 2008

[psikologi_transformatif] Re: Bayar Hutang --> was: Mengapa Saya Tidak Keberatan UUP Disahkan

Mbak Swas,

Mengukur kesan dalam bidang pekerjaan Anda punya dampak jauh berbeda dengan
mengukur kesan di ruang sidang. Di pengadilan, ukur-mengukur kesan ini akan
menentukan apakah seseorang akan masuk penjara atau bisa hidup bebas. Sistem
nilai dan ideologi yang dianut pengukur lebih memainkan peran (sebab yang
diukur taraf moralitas, bukan selera konsumen) daripada dalil-dalil ilmiah.
Jadi saya tak yakin kita sednag berbicara tentang dua hal yang sebanding di
sini. Kesan apakah sesuatu porno atau tidak, di ruang sidang mau diperdalam
seperti apa? Pakai FGD seperti dalam bidang kerja Anda? Apalagi kalau isunya
sudah sedemikian terbelahnya dan diwarnai pro - kontra. Kalau jaksa bisa
menghadirkan 1000 orang dengan kesan positif, pembela juga bisa menghadirkan
1000 orang dengan kesan negatif.

Soal "persenggamaan menyimpang". Mbak Swas, meski di atas kertas ini Anda
katakan cuma "tambahan" dan bukan utama, produk hukum itu selalu berujung pada
subjek manusia lho. Ada kaum gay dan lesbian, mungkin juga trans-gender, yang
mengalami stigmatisasi oleh "keterangan tambahan" ini, dan tiba-tiba posisi
mereka di hadapan hukum menjadi sedemikian rapuhnya. sejauh menyangkut nasib
manusia, apakah dia hanya 1 orang atau 1000 orang, keduanya sama-sama berharga.
UU ini bukan cuma secarik kertas belaka. UU ini mengatur hidup dan nasib
manusia yang jadi subjeknya.

Ini tak ada kaitan dengan apakah Anda dan teman-teman Anda makan gaji buta atau
tidak. Itu adalah paling layak diputuskan sendiri oleh Anda dkk. Saya hanya mau
katakan, bahwa prosedur market research yang Anda lakukan di kantor itu bukan
prosedur standar yang dilakukan di pengadilan untuk membuktikan seseorang telah
melakukan tindak kriminal atau tidak. Jadi, kayanya jauuuuuh banget deh sama
bidang kerja Anda. Kalau memang hubungannya langsung dan dekat, pasti yang laku
bukan lawyer melainkan perusahaan konsultan seperti yang Anda tekuni.

"Mengesankan ketelanjangan": jadi makna yang dituju adalah "baju tembus
pandang"? Logikanya, orang boleh berjalan-jalan di tempat umum pakai bikini
atau celana dalam (ini yang sering dipakai contoh, khususnya dalam kasus Bali)
atau koteka (dalam kasus Papua), meski bagian tubuh lain selain dada dan/atau
selangkangan terbuka, tidak terkena pasal-pasal UU ini, sementara filem yang
menampilkan tokohnya memakai baju tembus pandang bisa dituntut dengan pasal-
pasal ini? Walaupun itu cuma proyeksi image di layar? Tidakkah ini menambah
panjang daftar persoalan dengan UU ini? Jadi masih ada dong persoalan dengan
menentukan secara benar mana sebetulnya "kesan ketelanjangan" yang semestinya
dilarang dan mana yang tidak?

Makanan Sehat

Yang saya persoalkan dua-duanya, Mbak Swas. baik proses pembuatan, pembahasan
dan pengesahan UU-nya maupun isi pasal-pasalnya. seperti yang sudah saya
jelaskan sebelumnya, tak mungkin dua hal ini dilepaskan kaitannya. UU yang
dibuat dengan proses yang bermasalah sangat mungkin menghasilkan produk hukum
bermasalah juga. Sementara Anda tidak melihat adanya masalah, baik pada proses
maupun produk. Atau, Anda melihat ada masalah pada kedua sisi itu, tapi karena
kemampuan adaptasi Anda yang menakjubkan, maka Anda bisa hidup berdampingan
tanpa terusik sama sekali dengan masalah-masalah itu.

Soal dunia tidak ideal dan kita butuh trade-off, ini bukan kabar buruk baru
buat saya. persoalannya trade-off seperti apa yang dituntut dari kita? BUkankah
kita bisa punya UU Porno yang jauh lebih solid apabila persoalan yang sudah
diidentifikasi di pasal-pasal itu dibereskan? Kalau bisa meminimalisir masalah,
kenapa bersikeras untuk mempertahankan yang tigkat persoalannya maksimal? Yang
dituntut bukan kitab suci yang sempurna, hanya produk hukum yang memenuhi akal
sehat dan rasio.

Waduh, sekarang Anda bilang "sehat" dan "enak" itu definisinya berbeda-beda
dari satu orang ke orang lain. Kalau begitu saya kembalikan lagi saja ke bidang
kerja Anda yang salah satu kerjanya melakukan "pengukuran". Bisa diukur enggak?
sekalian tescase sederhana untukmenemukan sendiri apakah Anda dkk makan gaji
buta atau enggak :))

Saya tak tahu soal enak atau enggak enak, Mbak Swas, karena argumen saya
menekankan pada kesehatan. Biaar bukan berasal dari bidang ilmu kesehatan, saya
cukup tahu apakah makanan sehat atau tidak bisa ditentukan secara ilmiah di
laboratorium. Jadi entah beda definisi seperti apa yang ada di benak Anda. Ibu-
ibu yang melarang anak makan permen, harus makan kaldu asli, tak boleh makan
makanan mengandung melamin, meski sikon berbeda-beda, tak saling berkontradiksi
kok pemahaman mereka tentang kesehatan. lain halnya kalau ada ibu kasih anaknya
makan arsenik dengan alasan bahwa arsenik bagus buat kesehatan. Ada enggak Ibu
yang kaya gini, Mbak Swas?

Dikaitkan dengan UU Porno ibarat makanan beracun atau tidak, Anda katakan
menurut Anda untuk Indonesia UU ini meski tak sehat tapi juga tak beracun. Lha
itu ada 4 provinsi yang sudah menganggapnya beracun dan menolak UU itu.

Saya "menangkis dan menyalah-nyalahkan" Anda? Lho lho lho? Ini yang saya
khawatirkan sebetulnya. Susah ya buat berdiskusi tanpa harus bersikap defensif?
Kalau soal tangkis-menangkis, bukankah itu bagian alami dari seuah diskusi,
Mbak Swas. A mengajukan argumen, B mengajukan argumen lain untuk merespons A,
dan seterusnya. Mengapa ini jadi sangat mengganggu Anda?

Saya "menyalahkan" Anda? Ini jangan-jangan juga timbul akibat sikap defensif
yang Anda ambil. Dan sebetulnya urusannya juga simpel. Tinggal tunjukkan saja
saya kelirunya di mana, dan mengapa Anda kukuh bahwa pemikiran Andalah yang
benar. Tak terlalu perlu untuk dijadikan pokok bahasan tersendiri dengan
statement yang jadi terkesan kekanak-kanakan, menurut saya. Jangan merasa
disalah-salahkan, Mbak Swas, karena saya sama sekali tidak berpikir seperti
itu. Sama halnya saya tidak berpikir bahwa segala tangkisan Anda kepada saya
adalah bertujuan menyalah-nyalahkan saya. Jika saya menganggap dalam argumen
Anda ada masalah, maka ya itu saya ungkapkan, dan Anda pun juga bisa bersikap
demikian. Itu juga komponen dalam diskusi kan?

KEPEDULIAN
Pertanyaan-pertanyaan Anda:
- Apakah semua orang yang menentang UU berstandar rendah adalah
orang yang punya kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara? Tidak ada
motivasi lain?

- Apakah semua yang punya kepedulian terhadap nasib bangsa dan
negara menentang UU berstandar rendah? Tidak mengambil cara lain?

- Apakah semua orang yang menentang UUP adalah orang yang punya
kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara? Tidak ada motivasi lain?

- Apakah semua yang punya kepedulian terhadap nasib bangsa dan
negara menentang UUP? Tidak mengambil cara lain?

Nggak tau saya jawabannya,Mbak Swas. Tak ada jawaban definitif sebelum semua
pertanyaan ini dilontarkan secara spesifik kepada individu. Kalau diletakkan
dalam konteks Anda sendiri, kira-kira jawabnya untuk masing-masing apa?
Apa "motivasi" lain itu? Apa "cara lain yang diambil" itu? Saya tak tahu.
Justru saya ingin dengar dari Anda supaya bagi saya jelas kenapa Anda mengambil
posisi "tak masalah" dan "tak peduli", atau juga "anomie".

Kalo itu dilontarkan ke saya, jawabnya ya pasti: Ya, jika saya peduli terhadap
nasib bangsa, maka saya akan menentang UU berstandar rendah. Dan, ya, jika saya
menentang UUP itu karena saya peduli terhadap nasib bangsa. Tapi ini berlaku
buat saya, orang lain saya tak tahu. Mungkin bisa ditanya kepada para penentang
UUP di milis ini alasan dan motivasi mereka apa?

Pertanyaan Anda selanjutnya: "Apakah kepedulian harus ditunjukkan dengan cara
menggugat? Apalagi ketika kemudian penerimaan terhadap pengesahan UUP dilihat
sebagai tolok ukur kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara." Pertanyaan ini
pun harus ditempatkan dalam konteks sepsifik, yakni dalam debat UUP di milis
ini. Para penentang menunjukkan kepeduliannya denga menggugat. Anda, di lain
pihak, menyatakan dengan eksplisit ketidakpedulian Anda pada ada atau tidaknya
UU ini. Apakah ini belum menjawab pertanyaan Anda sendiri di atas?

Ini bukan mau main salah-salahan lho, ini bagi saya aliran logis dari
perkembangan diskusi ini. Ada yang dilontrakan, dan apa yang dilontarkan itu
mendapat tanggapan. tanggapan ini pada gilirannya bisa di-counter dengan
tanggapan lain, dst.

Anda pun lalu menjelaskan apa yang Anda maksud dengan "ketidakpedulian" Anda,
yakni karena Anda mampu membaca UU ini dengan kacamata waras, maka Anda tak
terlalu peduli dengan hingar-bingar di seputar UU ini. Sampai di sini, bisa
dipahami. Tapi lalu Anda sendiri mengakui bahwa cara membaca Anda itu tak serta-
merta menyelesaikan persoalan, sebab:

"Potensi masalahnya lebih terletak pada ketidakpercayaan kita pada perangkat
hukum Indonesia dan ketakutan kita akan sekelompok orang yang akan memanfaatkan
hukum ini untuk berlaku sewenang2. Ditambah lagi bahwa pornografi adalah suatu
konsep, bukan sesuatu yang nyata seperti pembunuhan, sehingga harus ada
definisi yang merupakan titik temu."

Ya inilah konteks di seputar teks UU itu yang bikin para penentang gerah, Mbak.
kalau teks itu sudah jadi UU, dia punya kekuatan hukum. Dia menuntut kepatuhan
subjek hukum. Mumpung dulu itu belum disahkan jadi UU, maka digugat dulu agar
diperbaiki. Jika tak diperbaiki, ya ditentanglah. Yang ditentang bukan semangat
untuk mengatur pornografi, melainkan versi UU yang bisa diperbaiki sebelum
disahkan tapi tetap saja mau disahkan tanpa perbaikan yang diusulkan.

Edukasi dan sosialisasi cara baca UU memang satu jalan untuk menyiasati
situasi. Tapi wong anggota pansusnya saja punya pengertian tak seragam tentang
makna pasal-pasalnya. Kita bisa sosialisasi sesuai akal sehat kita, tapi kalau
ada orang kena hukum akibat pasal-pasal yang tafsirnya terbuka itu, apa yang
bisa kita lakukan untuk dia? Cara saya membaca UU itu juga bisa sangat waras
dan jernih dan positif dan rasional. Tapi kalau lalu ada orang yang punya
kekuasaan hukum membacanya dengan cara berbeda dari saya, dan lalu mengenakan
tafsir itu kepada saya, maka sejernih apapun cara say membaca UU tak akan
menyelamatkan saya dari penjara.

Sikap saya dalam diskusi ini jelas. Lewat argumen-argumen yang kita ajukan kita
menguji pemikiran dan posisi yang kita ambil. Saya juga menerima point-point
yang Anda sampaikan sejauh itu bertemu dengan akal sehat saya, dan itulah
sebabnya mengapa tidak semua point Anda saya persoalkan. Jika saya tak memetik
manfaat dari diskusi dengan Anda, saya tak mau repot-repot buang-buang waktu
ngetik panjang-panjang untuk berdiskusi dengan Anda. Semoga sikap serupa dapat
Anda kenakan juga, dan tak lagi membuat statement yang tak proporsional,
seperti misalnya , bahwa saya "menyalah-nyalahkan" Anda. Ini cuma akhirnya
membelokkan arah diskusi dari "substansi" ke "cara" diskusi, dan bisa berakhir
jadi debat kusir.

Terima kasih ya untuk kiriman lagu dan syair-nya. Sound so familiar, gaung dari
masa lalu yang jauh lebih sederhana dan bisa dinikmati daripada masa kini. Lagu
dan syair berikutnya ditunggu.

manneke

Quoting was_swas <was_swas@yahoo.com>:

>
> Melanjutkan yang kemarin ya, Pak. Bayar hutang ;-)
>
>
>
> C4. Mengukur Kesan
>
>
>
> Dalam bidang pekerjaan saya, seringkali kami dihadapkan dengan
> pertanyaan: apakah produk ini memberi kesan young & trendy? Apakah ada
> kesan fresh dari produk ini? Mana dari berbagai alternatif desain
> kemasan baru ini yang mengesankan produk berkualitas tinggi?
>
>
>
> Semua pertanyaan itu pada hakikatnya membutuhkan "pengukuran
> kesan". Dan ada berbagai alternatif cara yang kami lakukan untuk
> mendapatkan jawabannya. Salah satunya dengan product mapping, dimana
> responden diminta mengelompokkan berbaga produk (termasuk produk yang
> diuji) berdasarkan kriteria tertentu. Pada kelompok mana produk yang
> diuji itu masuk akan dicatat. Di banyak kasus, jika produk tersebut
> memang memiliki kemampuan untuk menampilkan kesan tertentu, hasil
> pengelompokannya konsisten walaupun dilakukan pada responden2 yang
> memiliki kriteria demografis dan/atau psikografis yang berbeda. Jika
> hasilnya seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa memang produk itu
> menimbulkan kesan tersebut. Eksplorasi lebih dalam tentang alasannya
> akan memberikan pengetahuan mengenai elemen yang berperan mewujudkan
> kesan itu.
>
>
>
> Beberapa klien kemudian merasa perlu mengkuantifikasi pola yang
> ditemukan dari product mapping itu. Caranya bisa bermacam2, salah
> satunya dengan menunjukkan produk itu pada suatu wawancara hadap muka
> dengan responden dan menanyakan "Kesan apa yang Anda dapat dari
> produk ini?". Jawaban responden dicatat Top-of-Mindnya, kemudian
> bisa dilanjutkan dengan probing mengenai kesan2 tertentu "Apakah ada
> kesan ..... pada produk ini?" Di banyak kasus, hasilnya konsisten.
> Tinggal dihitung persentasenya, dan dibandinkan dengan benchmark atau
> cut-point yang sudah ditetapkan.
>
>
>
> Kunci dari mengukur kesan ini adalah: cara menanyakan serta sampling
> dari respondennya. Kepada siapa hal ini akan ditanyakan dan berapa
> jumlah total responden yang akan diambil sangat krusial untuk membaca
> hasilnya. Oleh karena itu, walaupun umumnya N=100 sudah cukup untuk
> mengambil keputusan statistik, untuk produk2 tertentu sering diujikan
> pada ribuan subyek dari berbagai variasi demografis dan/atau psikografis
> yang berbeda.
>
>
>
> Ini kaitannya dengan pertanyaan Bapak:
>
> Persenggamaan" yang kaya apa dulu nih? Kalo persenggamaan antara
> manusia dan binatang, 'orang normal' yang Anda maksud tentu tak
> kan terangsang
>
> Sebenarnya hal ini sudah pernah saya bahas dengan Bang Harez (eh, atau
> dengan Bidadari Cantik ya? Lupa!), tentang sampling criteria untuk
> mengukur Pasal 1 & Pasal 4. Silakan dicari ada di thread yang mana kalau
> Bapak berminat ;-) Waktu itu kita sudah sampai membahas bahwa KETERANGAN
> mengenai persenggamaan MENYIMPANG kurang, karena belum mencakup
> persenggamaan dengan binatang (hanya menyebutkan mengenai homoseksual)
> ;-) Jadi kita sudah tidak lagi membicarakan "persenggamaan" yang
> mana ;-) Karena sudah jelas UUP ini membedakan antara
> "persenggamaan" dan "persenggamaan menyimpang", dimana
> "persengamaan" dijadikan klausul utama, sementara
> "persenggamaan menyimpang" hanya menjadi tambahan.
>
>
>
> Saya tidak pungkiri bahwa cara di atas cukup ribet, dan kecil
> kemungkinannya pemerintah akan melakukannya jika terjadi dispute. Namun,
> kalau kita bicara tentang "dapatkah kesan diukur?", maka saya
> tetap mengatakan: bisa! Kecuali kalau Bapak mau mengatakan bahwa saya,
> teman2 saya, dan semua yang terlibat dalam bisnis seperti ini di seluruh
> dunia selama ini makan gaji buta ;-) Mengukur yang tidak bisa diukur ;-)
>
>
>
> Secara spesifik dikaitkan dengan "kesan ketelanjangan" yang
> digunakan dalam Pasal 4 ayat 1, malah pertanyaannya: apalagi yang perlu
> diukur? Dari website
> http://tulisanperempuan.wordpress.com/2008/10/30/ruu-pornografi-versi-30\
> -oktober-2008/
> <http://tulisanperempuan.wordpress.com/2008/10/30/ruu-pornografi-versi-3\
> 0-oktober-2008/> ini terlihat bahwa "kesan" itu sudah
> diperjelas dengan catatan " Huruf d. Yang dimaksud dengan
> "mengesankan ketelanjangan" adalah suatu kondisi seseorang yang
> menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara
> eksplisit.". Dalam UUP yang dikirim Howl kalau nggak salah juga
> sudah dituliskan penjelasannya sebagai "baju tembus pandang" ;-)
>
>
>
> Jadi, apa masih perlu diukur, Pak ;-)? Atau sudah jelas?
>
>
>
> C5. Pasal per Pasal dan Sehat
>
>
>
> Bukankah yang dipersoalkan banyak termasuk Bung Harez adalah isi serta
> pasal-pasalnya? Analogi makanan enak vs sehat juga tidak pas, Mbak Swas.
> UU itu harus bisa menjadi sebuah patokan ideal, bukan subsisten. Makanan
> yang ideal adalah yang sehat dan enak, bukan cuma enak
>
>
>
> Pertama, ya, memang yang dipersoalkan banyak termasuk Bang Harez adala
> isi serta pasal-pasalnya. Namun, saya juga belajar bahwa suatu perilaku
> yang sama tidak serta merta dihasilkan dari motivasi yang sama.
> Sebaliknya juga, motivasi yang sama tidak selalu berwujud pada perilaku
> yang sama. Bahkan, dari intensi melakukan perilaku tertentu hingga
> benar2 mewujudkan perilaku nyata saja jalurnya masih panjang. Oleh
> karena itu, saya berusaha kembali ke motivasi mendasarnya: what ticks
> you most? Karena pasal2nya bermasalah, atau karena pembuatannya
> bermasalah (= tidak mengikuti saran yang diberikan)?
>
>
>
> Dalam kasus pertama, orang berangkat dari membaca pasalnya, dan
> pemikiran kritisnya mewujudkan berbagai alternatif masalah yang mungkin
> muncul dari bunyi pasal seperti ini.
>
>
>
> Dalam kasus kedua, seringkali mereka berangkat dari perasaan terzalimi
> (karena DPR berbuat zalim dengan mengesahkan UU yang seharusnya tidak
> ada atau belum sesuai harapan mereka mengenai UU ini), dan
> ketidaksempurnaan pasalnya dijadikan justifikasi untuk menunjukkan pada
> orang lain bahwa UU ini harus digugat, dan jika tidak digugat berarti
> tidak peduli/tidak punya keprihatinan... hehehe...
>
>
>
> Bang Harez, menurut saya, lebih masuk ke kasus pertama. Dari bunyi
> pasal, ia memberikan berbagai alternatif masalah. Dari jawaban terhadap
> masalahnya, dia memberikan alternatif masalah baru. Dengan demikian
> diskusi selalu maju ke depan. Tadinya, saya kira Bapak juga demikian.
> Sayang, dalam sesi terakhir saya justru melihat Bapak lebih asyik
> menangkis dan menyalahkan saya. Termasuk menyalahkan analogi2 saya
> dengan pemahaman Anda sendiri, bukan mencoba mengerti kira2 apa yang ada
> dalam pikiran saya sehingga saya menggunakan analogi itu ;-)
>
>
>
> Kedua, masalah ideal. Betul, Pak, yang ideal memang harus mencakup
> semuanya; ya enak, ya sehat. Tapi saya punya 2 kabar buruk, Pak, yaitu:
>
> 1. Dunia ini tidak ideal, sehingga selalu ada trade off yang harus
> kita bayarkan untuk the compromised ideal
> 2. Bahkan jika dunia ini ideal, maka "makanan ideal yang sehat
> dan enak" itu sendiri berbeda definisinya bagi setiap orang.
>
>
>
> Sebagai contoh, definisi "snack sehat" itu bisa sangat berbeda
> antar ibu2 yang memiliki anak berusia sama, berasal dari kelas sosial
> yang sama, dan menggunakan kategori produk yang sama. Ada ibu yang
> mendefinisikan "snack sehat" sebagai snack yang tidak mengandung
> bahan yang berbahaya bagi kesehatan (air mentah, zat pewarna pakaian,
> melamin, kadang MSG masuk juga di sini). Ada ibu yang mendefinisikannya
> sebagai mengandung bahan2 yang tidak membuat anak terganggu
> kesehatannya; sehingga anaknya makan coklat atau permen pun nggak boleh,
> apalagi jajan es dungdung. Ada juga yang mendefinisikan snack sehat
> sebagai mengandung nutrisi tinggi, sehingga anak hanya boleh makan snack
> buatan sendiri – pastel yang diisi wortel hidroponik dan digoreng
> dengan minyak jagung, kaldu dari rebusan ayam asli.
>
>
>
> Contoh ini tidak mengada2, Pak, saya menjumpai orang2 seperti itu dalam
> keseharian saya ;-) Lantas, apakah kita akan mengatakan bahwa yang satu
> salah, dan yang lainnya benar? Bahwa yang paling benar adalah membuat
> pastel sendiri? Mungkin Bapak benar, bahwa kalau benar2 mau anak sehat,
> bukan sekedar kenyang, ya harus total. Harus ideal. Bikin snack sendiri
> yang dapat dipastikan nutrisinya. Tapi, dijamin deh, Pak, Bapak akan
> mendapat pertanyaan: memangnya harus? Memangnya nggak cukup dengan
> memberikan makanan yang tidak mengganggu kesehatannya? Toh, bisa kita
> kasih vitamin atau supplemen? Memangnya kerjaan saya hanya ngurus anak,
> sampai harus bikin snack sendiri?
>
>
>
> Kembali ke masalah UUP, saya melihatnya sebagai makanan yang nggak
> mengandung racun. Memang tidak meningkatkan kesehatan bangsa, tapi tidak
> membahayakan kesehatan bangsa juga. Saya melihatnya sebagai makanan yang
> dibuat dari air PAM yang direbus sampai mendidih; tidak sebagus jika
> dibuat dari Evian atau Perrier, tapi juga nggak semembahayakan air
> mentah. Sebagai apa Bapak memandangnya?
>
>
>
> Jika Bapak melihatnya dari air mentah, Bapak masih kurang dapat
> menunjukkan bahwa siapa pun yang menyantapnya beresiko kena diare.
> Argumen Bapak masih mengacu pada mereka yang berkarakteristik khusus.
>
>
>
> Jika Bapak melihatnya sebagai kurang bagus karena tidak dibuat dari
> Perrier atau Evian (seperti yang saya tengarai), itu juga hak Bapak.
> Tapi bukan berarti bahwa yang ada sekarang tidak bisa dikonsumsi oleh
> Indonesia tanpa menyebabkan diare ;-)
>
>
>
> C6. Peduli Nasib Bangsa dan Standard UU
>
>
>
> Sangat wajar jika semua orang yang punya kepedulian terhadap nasib
> bangsa dan negeri tempat ia hidup punya keprihatinan terhadap kualitas
> UU yang dihasilkan DPR. Jika "standar" yang sedemikian rendah
> itu diterima begitu saja tanpa gugatan, tak akan ada ang berubah di
> negeri ini sejak jaman kumpeni dulu, Mbak Swa. Dunia berubah karena
> manusia peduli dan karena mereka selalu berusaha memperbaiki situasi
> alih-alih menerima saja situasi apapun yang disodorkan kepada mereka.
>
>
>
> Betul, bahwa "UU berstandar rendah ditentang oleh orang yang punya
> kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara". Tapi dari pernyataan
> ini dapat diturunkan pertanyaan lain:
>
> 1. Apakah semua orang yang menentang UU berstandar rendah adalah
> orang yang punya kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara? Tidak ada
> motivasi lain?
>
> 2. Apakah semua yang punya kepedulian terhadap nasib bangsa dan
> negara menentang UU berstandar rendah? Tidak mengambil cara lain?
>
>
>
> Kalau mau dispesifikkan lagi, ada pertanyaan:
>
> 1. Apakah semua orang yang menentang UUP adalah orang yang punya
> kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara? Tidak ada motivasi lain?
> 2. Apakah semua yang punya kepedulian terhadap nasib bangsa dan
> negara menentang UUP? Tidak mengambil cara lain?
>
>
>
> Itu yang saya pertanyakan. Apakah kepedulian harus ditunjukkan dengan
> cara menggugat? Apalagi ketika kemudian penerimaan terhadap pengesahan
> UUP dilihat sebagai tolok ukur kepedulian terhadap nasib bangsa dan
> negara ;-)
>
>
>
> Kalau kasus yang dibicarakan adalah tentang UU Air, belum tentu saya
> tidak peduli terhadap pengesahannya ;-) Kalau untuk UU Sisdiknas, saya
> mengamati di milis lain bahwa sudah terwakili apa yang hendak saya
> sampaikan, sehingga saya tidak perlu "aktif dan vokal" (tsah!)
> bicara ;-)
>
>
>
> Saya bisa bilang tidak peduli terhadap pengesahan UUP adalah karena
> menurut saya, masalahnya tidak signifikan. Potensi masalahnya lebih
> terletak pada ketidakpercayaan kita pada perangkat hukum Indonesia dan
> ketakutan kita akan sekelompok orang yang akan memanfaatkan hukum ini
> untuk berlaku sewenang2. Ditambah lagi bahwa pornografi adalah suatu
> konsep, bukan sesuatu yang nyata seperti pembunuhan, sehingga harus ada
> definisi yang merupakan titik temu.
>
>
>
> Karena kebetulan bidang pekerjaan saya sehari2 mengurus hal seperti ini,
> buat saya meminimalkan potensi masalahnya mudah saja: edukasi dan
> sosialisasi cara membaca UUP ini. Dan saya sekedar memberikan komentar
> berupa cara saya membacanya. Cara membaca yang justru sudah terbukti
> membuat saya merasa lebih aman dengan adanya UUP ini.
>
>
>
> Talking about ideal, buat saya yang ideal adalah jika sistem peradilan
> Indonesia bisa membaca UUP seperti saya membacanya, dan kemudian
> menyadari bahwa di pundaknya terletak tanggung jawab yang besar
> menentukan keadilan yang benar2 adil. Karena UUP ini sifatnya hanya
> untuk memberi legalitas saling mengadukan (alternatif dari main hakim
> sendiri), dan selanjutnya tergantung pada kebijakan pengadilan.
>
>
>
> Next best thing, kalau orang lain bisa membaca UUP ini seperti saya dan
> kemudian bersama2 memperbaiki bolong2 yang [pasti] masih ada; sehingga
> makin banyak orang yang merasa aman dengan adanya UUP ini, dan secara
> tidak langsung memvetakompli sistem peradilan agar sadar bahwa ia
> memiliki tanggung jawab yang besar.
>
>
>
> Tapi saya sadar, bahwa seperti kata Karen Carpenter dalam lagu kesukaan
> saya:
>
>
>
> I know I ask perfection of
>
> a quite imperfect world,
>
> And fool enough to think
>
> that's what I'll find
>
> Oleh karena itu saya tidak berkeberatan jika ada orang2 yang merasa UUP
> ini adalah bencana nasional tak terperikan; sehingga satu2nya
> penyelesaian adalah menggagalkan pengesahan UUP ini ;-) Cara saya
> membaca? Itu sih cara membaca orang yang "nrimo", tidak peduli
> nasib bangsa dan negara ;-)
>
>
>
> D. PENUTUP
>
>
>
> Kalau tidak salah, awal Pak Manneke mengajak saya diskusi ada pertanyaan
> apakah saya siap mengubah pendapat saya. Buat Bang Harez (atau Bidadari
> Cantik ya?) saya sudah katakan bahwa saya menyukai enlightening
> discussion, masalah berubah atau tidak itu nomor sekian.
>
>
>
> Sekarang saya harus tanya lagi: fokus Pak Manneke dalam diskusi ini apa?
> Jika untuk mengubah pandangan saya, membuat saya menjadi salah satu
> "kekuatan baru" yang menentang pengesahan UUP, maka memang
> diskusi ini harus dihentikan. Tapi kalau mau sama2 diskusi mengenai
> bagaimana menyikapi UUP yang sudah kadung disahkan sehingga nggak
> terlalu banyak mengurangi kenyamanan kita, let's do it.
>
>
>
> Saya memang bukan orang yang mudah mengubah pendapat. Tapi saya bukan
> batu kok... hehehe... kalau ada yang memberikan alasan tepat, saya bisa
> saja setuju. Beberapa kali saya juga bilang "OK, you got your point.
> Jadi, solusinya gimana?" pada Bang Harez... hehehe... although it
> hurts my ego to swallow my pride... HAHAHA...
>
>
>
> Kesibukan akhir tahun saya memang sudah dimulai (biasaa... kalau akhir
> tahun banyak yang sibuk mempersiapkan marketing plan buat tahun
> berikutnya), sehingga nggak mungkin sering2 menengok milis lagi. Tapi
> saya usahakan 1x sehari ngintip. Mohon maaf di muka jika kemudian
> ternyata ada tanggapan yang terlewat.
>
>
>
> Buat menutup perjumpaan kita, sebuah syair manis lagi, masih dari lagu
> dan penyanyi yang sama:
>
>
>
> So here I am with pocket full
>
> of good intentions
>
> …
>
> Hanging on a hope,
>
> But I'm all right
>
>
>
> Salam,
>
>
>
> --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, pradita@... wrote:
> >
> > Halo Mbak Swas,
> >
> > Semoga sudah kembali beraktifitas dan menikmati liburan akhir pekan
> kemarin.
> > Saya sekadar maau nyambung diskusi kita yang terputus kemarin.
> >
> > Saya akan mulai dengan persoalan makna "DAPAT" dan "DENGAN SENGAJA".
> Dalam
> > sistem hukum pidana kita, formulasi "DENGAN SENGAJA" itu sudah lazim
> dipakai.
> > Seseorang yang "dengan sengaja" menghilangkan nyawa orang lain beda
> pasal serta
> > bobot hukumannya dibandingkan dengan melakukan "kelalaian" yang
> menyebabkan
> > hilangnya nyawa orang lain. Kesengajaan dapat dibuktikan (ada
> perencanaan),
> > sementara kalau "DAPAT" itu masih berupa potensi, dan semestinya belum
> bisa
> > dikenai pidana. Wong baru potensial kok. Ini kalo maknanya "opsi" lho
> ya. Kalau
> > makna "DAPAT" di situ berarti "kemampuan", maka yang mampu dalam UU
> Porno ini
> > materinya ataau orang yang melihatnya? Kalau orang yang melihat,
> semestinya
> > yang dikenai pidana ya orang itu, bukan materinya yang dilarang.
> >
> > Jadi kalau Anda bilang "DAPAT" itu berarti "tinggal selangkah lagi
> untuk
> > dibuktikan", ini malah aneh, karena langkah terakhir untuk membuktikan
> itu
> > menemui gang buntu, karena ya masih potensial itu tadi. Sementara,
> perbedaan
> > antara "khilaf" dan "sengaja" justru lazim dipakai, lihat saja KUHAP.
> Hukum RI
> > yang pakai rumusan "DAPAT" untuk menghukum orang adalah UU Subversif
> zaman Orba
> > dulu. Baru dicurigai sudah bisa masuk bui, meski belum melakukan
> apa-apa,
> > karena dianggap "DAPAT" membahayakan negara.
> >
> > Contoh peniti yang Anda berikan justru tak tepat sasaran. Kalau Anda
> mati kena
> > tusuk peniti, maka berapa berat hukuman penusuknya akan sepenuhnya
> ditentukan
> > apakah itu kelalaian (khilaf) atau kesengajaan. Anda sendiri sih udah
> mati
> > (kalau memang peniti itu karatan dan bikin infeksi), jadi nggak perlu
> > dibuktikan lagi. Yang perlu dibuktikan itu sengaja atau tidaknya si
> pelaku.
> >
> > Anda kemudian juga menyatakan "kesan bisa diukur"? Bagaimana sih
> caranya
> > mengukur impresi? Alat ukurnya apa? Akan sangat menarik membacaa
> penjelasan
> > Mbak Swas tentang hal ini, yang sama sekali baru buat saya. Tolong
> saya
> > dicerahkan deh.
> >
> > Selanjutnya, Anda menyatakan bahwa pelanggaran kesusilaan ditentukan
> oleh adat
> > tempat seseorang hidup. Bisa jadi betul. Tapi UU Porno ini hukum
> nasional, Mbak
> > Swas, bukan level Perda. Kalau hukum nasional dia harus bisa memayungi
> seluruh
> > pelosok negeri dari Sabang sampai Merauke. Jadi aneh kalau ada hukum
> nasional
> > yang berisi larangan-larangan dan sanksi-sanksi, tapi lalu memulangkan
> norma-
> > normanya ke adat-istiadat masing-masing daerah di NKRI. Saya ingin
> tahu apakah
> > ada UU lain di bumi Indonesia ini yang unik seperti ini? Kita ini
> masih KNRI
> > atau sudah jadi republik federal? Jika betul maksud UU ini seperti
> yang Anda
> > katakan, maka sebetulnya UU ini sudah melanggar sumber hukum yang
> lebih
> > fundamental, yaitu UUD.
> >
> > Contoh yang Anda berikan, yaitu orang Papua boleh pakai koteka di
> Papua tapi
> > tak bisa pakai koteka di NAD, ini menurut saya bisa menyesatkan, Mbak
> Swas.
> > Kalau logika yang sama dipakai secara terbalik bagaimana? Bagaimana
> dengan
> > orang NAD berjilbab yang ke Papua? Boleh nggak dia pakai jilbabnya di
> Papua
> > sana atau harus ikut adat orang Papua yang pakai rok dari
> rumbai-rumbai? Sekali
> > lagi, jika betul bahwa ini adalah semangat yang jadi landasan UU Porno
> itu,
> > maka betul kata banyak penentang: UU ini memang akan menjadi alat
> pemecah-belah
> > bangsa.
> >
> > Lalu, Anda katakan (saya kutipkan): "dalam kasus UUP ini, saya tidak
> melihat
> > apa batasan pornografi dan susila pada masing2 orang, melainkan
> melihat apakah
> > UUP ini bisa diterima secara umum (walaupun pasti akan membatasi
> kebebasan
> > orang per orang sampai derajat tertentu)." Apa yang Anda maksud dengan
> "bisa
> > diterima secara umum"? Ketika UU ini memicu kontroversi yang begitu
> besar dan
> > mengkotak-kotakkan masyarakat secara sangat tajam, apakah ini bisa
> disebut
> > sebagai "diterima secara umum"? Ataukah Anda maksudkan "umum" di sini
> > sebagai "mayoritas"? Jika ya, perlu dirinci dulu, mayoritas dari aspek
> apa?
> > Ras, agama? Jika ini yang dimaksud, yang manapun kategori yang diacu
> oleh
> > kata "mayoritas" itu, maka tetap akan bermasalah serius, sebab berarti
> negeri
> > ini tak lagi dipahami sebagai sebuah negara kesatuan.
> >
> > Kemudian, Anda bertanya: "apakah ada [orang "normal"] yang bisa secara
> tegas
> > mengatakan hasrat seksualnya tidak pernah terbangkit saat melihat
> adegan
> > persenggamaan?" Jawabannya akan sama kaburnya dengan pertanyaannya,
> Mbak
> > Swas. "Persenggamaan" yang kaya apa dulu nih? Kalo persenggamaan
> antara manusia
> > dan binatang, "orang normal" yang Anda maksud tentu tak akan
> terangsang. Kalo
> > persenggamaan antara pasangan homoseksual, "orang normal" yang Anda
> maksud juga
> > tak akan terangsang. Bukan begitu? Jadi, campur-aduk inilah yang bikin
> pasal
> > ini jadi kacau dan keefektifan operasionalnya sangat diragukan, kalau
> kita
> > melihat ketidakjelasan ini saja.
> >
> > Pengumuman proklamasi RI oleh Sukarno-Hatta rasa-rasanya tak cocok
> untuk
> > dijadikan sebagai analogi UU ini, Mbak Swas. Proklamasi dilakukan
> dalam keadaan
> > serba darurat, memanfaatkan air keruh usainya perang dunia II ketika
> sekutu dan
> > Jepang sama-sama sibuk. Pasangan proklamator itu sampai mesti diculik
> dulu ke
> > Rengasdengklok dan "dipaksa" membuat draft kasar proklamasi untuk
> dibacakan.
> > Lha UU ini daruratnya di mana? Ini zaman merdeka dan tak ada Jepang
> atau
> > Belanda yang akan masuk kampung. Masalahnya, Pansusnya saja yang tak
> mau terima
> > masukan. Dan akibat dari sikap Pansus yang tidak demokratis ini, UU
> yang
> > dihasilkannya pun sarat masalah. Namun, sebetulnya, kedaruratan juga
> tak boleh
> > dijadikan justifikasi setiap saat. Pengumuman kemerdekaan AS dari
> kolonialisme
> > Inggris dilakukan dengan rapi, bahkan preamble Konstitusinya saja
> sudah siap
> > dan ditandatangani oleh banyak tokoh yang mewakili berbagai daerah.
> >
> > Mbak Swas, pertanyaan Anda: "adakah UU yang tidak bermasalah di
> Indonesia?"
> > yang lalu disusul dengan pernyataan bahwa kalau memang ini "standar"
> pembuatan
> > UU di Indonesia, maka kita mau apa lagi, menurut saya tak kalah sarat
> dengan
> > masalah. Jelas ada UU lain di Indonesia yang bermasalah, dan semua itu
> bukannya
> > tidak ditolak atau dilawan. UU Pilpres sedang ditentang, UU Sisdiknas
> dulu
> > hampir sama kontroversialnya dengan UU Porno, UU Air sangat
> kontroversial dan
> > sampai kini tetap dilawan. Sangat wajar jika semua orang yang punya
> kepedulian
> > terhadap nasib bangsa dan negeri tempat ia hidup punya keprihatinan
> terhadap
> > kualitas berbagai UU yang dihasilkan DPR. Jika "standar" yang
> sedemikian rendah
> > itu diterima begitu saja tanpa gugatan, tak akan ada yang berubah di
> negeri ini
> > sejak zaman kumpeni dulu, Mbak Swas. Dunia berubah karena manusia
> peduli, dan
> > karena mereka selalu berusaha memperbaiki situasi alih-alih menerima
> saja
> > situasi apapun yang disodorkan kepada mereka. Mudah-mudahan bukan ini
> > sebetulnya sikap Anda ketika Anda berkata bahwa Anda menerima "anomie"
> itu.
> >
> > Maaf, Mbak Swas, karena jika betul inilah sikap Anda sebenarnya, yaitu
> "terima
> > saja standar apapun yang ada", maka memang betul bahwa diskusi ini
> sudah harus
> > berakhir di sini. Saya secara pribadi sesungguhnya mengharapkan lebih
> daripada
> > sekadar itu dari seseorang seperti Anda. Kalau dari manusia macam
> Hendrik
> > Bakrie, saya memang tak bisa mengharapkan apa-apa.
> >
> > Ke bawah, Anda katakan: "Tapi sebenarnya saya jadi bingung: sebenarnya
> > masalahnya dimana? Karena UUP yang dihasilkan tidak sesempurna yang
> diusulkan
> > karena Pansus tidak mengakomodasi masukan? Atau karena isi UUP-nya
> sama sekali
> > tidak bisa diterima?" Saya pikir pertanyaan ini menjurus ke arah debat
> kusir.
> > Sudah sangat jelas mestinya masalahnya di mana: jika UU tidak
> sempurna, dan ada
> > masukan yang bisa menyempurnakannya, tapi Pansus tak mau dengar, maka
> jelas
> > akibatnya adalah produk UU-nya jadi bermasalah. Justru saya nih yang
> sekarang
> > jadi bingung kok hal segamblang ini bisa bikin Anda bingung? Perlu
> dicatat
> > bahwa "tak sempurna" itu sebutan yang terlalu halus untuk merujuk pada
> > persoalan yang ada dalam UU ini. Istilah yang lebih persis adalah
> bahwa dari
> > segi hukum UU ini mengandung cacat karena definisinya tak dapat
> > dioperasionalkan karena bergaia hal yang sudah dilontarkan para
> penentang
> > selama ini.
> >
> > Anda katakan juga: "Sebab, walaupun ada masalah, jika isinya masih
> dapat
> > diterima, saya cenderung menerimanya. Seperti yang saya lakukan saat
> ini. Saya
> > tidak melihat prosesnya. Ibarat makanan, saya lihat masakannya enak,
> saya tahu
> > tidak mengandung racun, ya saya makan. Saya tidak akan mempertanyakan
> bahwa
> > harusnya bumbunya ditambah ini, biar lebih bermanfaat bagi kesehatan."
> Ini juga
> > cenderung mementahkan lagi diskusi yang sudah berkembang sejauh ini.
> Saya pikir
> > sudah amat jelas diterangkan bahwa yang bermasalah itu isi UU ini,
> jadi aneh
> > ketika Anda katakan bahwa "walaupun ada masalah" tapi "isinya masih
> dapaat
> > diterima". Bukankah yang dipersoalkan banyak orang termasuk Bung
> Harez, adalah
> > isi serta pasal-pasalnya? Analogi makanan enak vs sehat juga tidak
> pas, Mbak
> > Swas. UU itu harus bisa menjadi sebuah patokan ideal, bukan subsisten.
> Makanan
> > yang ideal adalah yang sehat dan enak, bukan cuma enak. Kalau kita
> membuat
> > suatu ancangan makanan, maka patokan yang semestinya dipakai ya yang
> ideal. itu
> > kalau bangsa ini mau jadi bangsa yang sehat, bukan cuma yang kenyang
> makan.
> > Kalau ini dipakai sebagai analogi UU Porno, hanya akan makin membuka
> borok pada
> > UU itu.
> >
> > Membandingkan UU ini dengan kasus Lapindo untuk menentukan derajat
> kepentingan
> > serta bagaimana kita mesti bersikap juga tak tepat dan misleading.
> Jika kita
> > ikuti berbagai diskusi di mili-milis besar lain (mediacare, FPK) maka
> > kepedulian terhadap isu UU Porno dan isu Lapindo berjalan
> bersama-sama, tidak
> > pakai harus pilih yang ini atau yang itu. Seandainya Lapindo adalah
> kasus yang
> > jauh lebih darurat daripada UU Porno dan wajib dipikiri seluruh
> bangsa, saya
> > terus terang belum melihat--paling tidak di milis Psi-Trans ini--bahwa
> Mbak
> > Swas aktif dan vokal berbicara menggugat Lapindo dalam intensitas
> seperti
> > diskusi kita tentang Uu Porno saat ini. Saya bukannya mau
> mempertanyakan
> > integritas Anda, tapi pernyataan Anda sendiri yang menuntut wujud
> konkrit dari
> > sikap Anda (terhadap isu Lapindo). Jika tidak, maka memang
> pembandingan UU
> > Porno dan kasus Lapindo tidak pada tempatnya.
> >
> > Tak ada yang ironis di sini, Mbak Swas. Saya khawatir Anda
> mempersepsikan
> > diskusi antara Anda dan para penentang UU di milis ini secara tidak
> pas. Fakta
> > bahwa sebagian besar penentang UU Porno di milis ini adalah laki-laki
> justru
> > menunjukkan bahwa persoalan yang ditimbulkan UU ini bukan hanya
> persoalan
> > perempuan, melainkan persoalan seluruh warga negara, tak peduli apa
> jenis
> > kelamin atau gendernya. Kalau kesan ironis ini dibenarkan, maka bisa
> dengan
> > mudah lahir ironi lain: kaum laki-laki saja mau peduli terhadap
> persoalan yang
> > terkandung dalam UU ini, lha yang perempuan--yang konon lebih terancam
> > kebebasannya oleh UU ini--malah menyatakan diri tak peduli karena ya
> memang
> > sudah beginilah keadaannya di Indonesia, mau apa lagi?
> >
> > Saya nantikan kabar selanjutnya dari Anda, jika sudah tidak terlalu
> capek atau
> > sibuk.
>
>
>
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

Yahoo! Groups

Dog Lovers Group

Connect and share with

dog owners like you

Weight Loss Group

on Yahoo! Groups

Get support and

make friends online.

.

__,_._,___

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home