[psikologi_transformatif] Bayar Hutang --> was: Mengapa Saya Tidak Keberatan UUP Disahkan
Melanjutkan yang kemarin ya, Pak. Bayar hutang ;-)
C4. Mengukur Kesan
Dalam bidang pekerjaan saya, seringkali kami dihadapkan dengan pertanyaan: apakah produk ini memberi kesan young & trendy? Apakah ada kesan fresh dari produk ini? Mana dari berbagai alternatif desain kemasan baru ini yang mengesankan produk berkualitas tinggi?
Semua pertanyaan itu pada hakikatnya membutuhkan "pengukuran kesan". Dan ada berbagai alternatif cara yang kami lakukan untuk mendapatkan jawabannya. Salah satunya dengan product mapping, dimana responden diminta mengelompokkan berbaga produk (termasuk produk yang diuji) berdasarkan kriteria tertentu. Pada kelompok mana produk yang diuji itu masuk akan dicatat. Di banyak kasus, jika produk tersebut memang memiliki kemampuan untuk menampilkan kesan tertentu, hasil pengelompokannya konsisten walaupun dilakukan pada responden2 yang memiliki kriteria demografis dan/atau psikografis yang berbeda. Jika hasilnya seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa memang produk itu menimbulkan kesan tersebut. Eksplorasi lebih dalam tentang alasannya akan memberikan pengetahuan mengenai elemen yang berperan mewujudkan kesan itu.
Beberapa klien kemudian merasa perlu mengkuantifikasi pola yang ditemukan dari product mapping itu. Caranya bisa bermacam2, salah satunya dengan menunjukkan produk itu pada suatu wawancara hadap muka dengan responden dan menanyakan "Kesan apa yang Anda dapat dari produk ini?". Jawaban responden dicatat Top-of-Mindnya, kemudian bisa dilanjutkan dengan probing mengenai kesan2 tertentu "Apakah ada kesan ..... pada produk ini?" Di banyak kasus, hasilnya konsisten. Tinggal dihitung persentasenya, dan dibandinkan dengan benchmark atau cut-point yang sudah ditetapkan.
Kunci dari mengukur kesan ini adalah: cara menanyakan serta sampling dari respondennya. Kepada siapa hal ini akan ditanyakan dan berapa jumlah total responden yang akan diambil sangat krusial untuk membaca hasilnya. Oleh karena itu, walaupun umumnya N=100 sudah cukup untuk mengambil keputusan statistik, untuk produk2 tertentu sering diujikan pada ribuan subyek dari berbagai variasi demografis dan/atau psikografis yang berbeda.
Ini kaitannya dengan pertanyaan Bapak:
Persenggamaan" yang kaya apa dulu nih? Kalo persenggamaan antara manusia dan binatang, 'orang normal' yang Anda maksud tentu tak kan terangsang
Sebenarnya hal ini sudah pernah saya bahas dengan Bang Harez (eh, atau dengan Bidadari Cantik ya? Lupa!), tentang sampling criteria untuk mengukur Pasal 1 & Pasal 4. Silakan dicari ada di thread yang mana kalau Bapak berminat ;-) Waktu itu kita sudah sampai membahas bahwa KETERANGAN mengenai persenggamaan MENYIMPANG kurang, karena belum mencakup persenggamaan dengan binatang (hanya menyebutkan mengenai homoseksual) ;-) Jadi kita sudah tidak lagi membicarakan "persenggamaan" yang mana ;-) Karena sudah jelas UUP ini membedakan antara "persenggamaan" dan "persenggamaan menyimpang", dimana "persengamaan" dijadikan klausul utama, sementara "persenggamaan menyimpang" hanya menjadi tambahan.
Saya tidak pungkiri bahwa cara di atas cukup ribet, dan kecil kemungkinannya pemerintah akan melakukannya jika terjadi dispute. Namun, kalau kita bicara tentang "dapatkah kesan diukur?", maka saya tetap mengatakan: bisa! Kecuali kalau Bapak mau mengatakan bahwa saya, teman2 saya, dan semua yang terlibat dalam bisnis seperti ini di seluruh dunia selama ini makan gaji buta ;-) Mengukur yang tidak bisa diukur ;-)
Secara spesifik dikaitkan dengan "kesan ketelanjangan" yang digunakan dalam Pasal 4 ayat 1, malah pertanyaannya: apalagi yang perlu diukur? Dari website http://tulisanperem
Jadi, apa masih perlu diukur, Pak ;-)? Atau sudah jelas?
C5. Pasal per Pasal dan Sehat
Bukankah yang dipersoalkan banyak termasuk Bung Harez adalah isi serta pasal-pasalnya? Analogi makanan enak vs sehat juga tidak pas, Mbak Swas. UU itu harus bisa menjadi sebuah patokan ideal, bukan subsisten. Makanan yang ideal adalah yang sehat dan enak, bukan cuma enak
Pertama, ya, memang yang dipersoalkan banyak termasuk Bang Harez adala isi serta pasal-pasalnya. Namun, saya juga belajar bahwa suatu perilaku yang sama tidak serta merta dihasilkan dari motivasi yang sama. Sebaliknya juga, motivasi yang sama tidak selalu berwujud pada perilaku yang sama. Bahkan, dari intensi melakukan perilaku tertentu hingga benar2 mewujudkan perilaku nyata saja jalurnya masih panjang. Oleh karena itu, saya berusaha kembali ke motivasi mendasarnya: what ticks you most? Karena pasal2nya bermasalah, atau karena pembuatannya bermasalah (= tidak mengikuti saran yang diberikan)?
Dalam kasus pertama, orang berangkat dari membaca pasalnya, dan pemikiran kritisnya mewujudkan berbagai alternatif masalah yang mungkin muncul dari bunyi pasal seperti ini.
Dalam kasus kedua, seringkali mereka berangkat dari perasaan terzalimi (karena DPR berbuat zalim dengan mengesahkan UU yang seharusnya tidak ada atau belum sesuai harapan mereka mengenai UU ini), dan ketidaksempurnaan pasalnya dijadikan justifikasi untuk menunjukkan pada orang lain bahwa UU ini harus digugat, dan jika tidak digugat berarti tidak peduli/tidak punya keprihatinan.
Bang Harez, menurut saya, lebih masuk ke kasus pertama. Dari bunyi pasal, ia memberikan berbagai alternatif masalah. Dari jawaban terhadap masalahnya, dia memberikan alternatif masalah baru. Dengan demikian diskusi selalu maju ke depan. Tadinya, saya kira Bapak juga demikian. Sayang, dalam sesi terakhir saya justru melihat Bapak lebih asyik menangkis dan menyalahkan saya. Termasuk menyalahkan analogi2 saya dengan pemahaman Anda sendiri, bukan mencoba mengerti kira2 apa yang ada dalam pikiran saya sehingga saya menggunakan analogi itu ;-)
Kedua, masalah ideal. Betul, Pak, yang ideal memang harus mencakup semuanya; ya enak, ya sehat. Tapi saya punya 2 kabar buruk, Pak, yaitu:
- Dunia ini tidak ideal, sehingga selalu ada trade off yang harus kita bayarkan untuk the compromised ideal
- Bahkan jika dunia ini ideal, maka "makanan ideal yang sehat dan enak" itu sendiri berbeda definisinya bagi setiap orang.
Sebagai contoh, definisi "snack sehat" itu bisa sangat berbeda antar ibu2 yang memiliki anak berusia sama, berasal dari kelas sosial yang sama, dan menggunakan kategori produk yang sama. Ada ibu yang mendefinisikan "snack sehat" sebagai snack yang tidak mengandung bahan yang berbahaya bagi kesehatan (air mentah, zat pewarna pakaian, melamin, kadang MSG masuk juga di sini). Ada ibu yang mendefinisikannya sebagai mengandung bahan2 yang tidak membuat anak terganggu kesehatannya; sehingga anaknya makan coklat atau permen pun nggak boleh, apalagi jajan es dungdung. Ada juga yang mendefinisikan snack sehat sebagai mengandung nutrisi tinggi, sehingga anak hanya boleh makan snack buatan sendiri pastel yang diisi wortel hidroponik dan digoreng dengan minyak jagung, kaldu dari rebusan ayam asli.
Contoh ini tidak mengada2, Pak, saya menjumpai orang2 seperti itu dalam keseharian saya ;-) Lantas, apakah kita akan mengatakan bahwa yang satu salah, dan yang lainnya benar? Bahwa yang paling benar adalah membuat pastel sendiri? Mungkin Bapak benar, bahwa kalau benar2 mau anak sehat, bukan sekedar kenyang, ya harus total. Harus ideal. Bikin snack sendiri yang dapat dipastikan nutrisinya. Tapi, dijamin deh, Pak, Bapak akan mendapat pertanyaan: memangnya harus? Memangnya nggak cukup dengan memberikan makanan yang tidak mengganggu kesehatannya? Toh, bisa kita kasih vitamin atau supplemen? Memangnya kerjaan saya hanya ngurus anak, sampai harus bikin snack sendiri?
Kembali ke masalah UUP, saya melihatnya sebagai makanan yang nggak mengandung racun. Memang tidak meningkatkan kesehatan bangsa, tapi tidak membahayakan kesehatan bangsa juga. Saya melihatnya sebagai makanan yang dibuat dari air PAM yang direbus sampai mendidih; tidak sebagus jika dibuat dari Evian atau Perrier, tapi juga nggak semembahayakan air mentah. Sebagai apa Bapak memandangnya?
Jika Bapak melihatnya dari air mentah, Bapak masih kurang dapat menunjukkan bahwa siapa pun yang menyantapnya beresiko kena diare. Argumen Bapak masih mengacu pada mereka yang berkarakteristik khusus.
Jika Bapak melihatnya sebagai kurang bagus karena tidak dibuat dari Perrier atau Evian (seperti yang saya tengarai), itu juga hak Bapak. Tapi bukan berarti bahwa yang ada sekarang tidak bisa dikonsumsi oleh Indonesia tanpa menyebabkan diare ;-)
C6. Peduli Nasib Bangsa dan Standard UU
Sangat wajar jika semua orang yang punya kepedulian terhadap nasib bangsa dan negeri tempat ia hidup punya keprihatinan terhadap kualitas UU yang dihasilkan DPR. Jika "standar" yang sedemikian rendah itu diterima begitu saja tanpa gugatan, tak akan ada ang berubah di negeri ini sejak jaman kumpeni dulu, Mbak Swa. Dunia berubah karena manusia peduli dan karena mereka selalu berusaha memperbaiki situasi alih-alih menerima saja situasi apapun yang disodorkan kepada mereka.
Betul, bahwa "UU berstandar rendah ditentang oleh orang yang punya kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara". Tapi dari pernyataan ini dapat diturunkan pertanyaan lain:
1. Apakah semua orang yang menentang UU berstandar rendah adalah orang yang punya kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara? Tidak ada motivasi lain?
2. Apakah semua yang punya kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara menentang UU berstandar rendah? Tidak mengambil cara lain?
Kalau mau dispesifikkan lagi, ada pertanyaan:
- Apakah semua orang yang menentang UUP adalah orang yang punya kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara? Tidak ada motivasi lain?
- Apakah semua yang punya kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara menentang UUP? Tidak mengambil cara lain?
Itu yang saya pertanyakan. Apakah kepedulian harus ditunjukkan dengan cara menggugat? Apalagi ketika kemudian penerimaan terhadap pengesahan UUP dilihat sebagai tolok ukur kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara ;-)
Kalau kasus yang dibicarakan adalah tentang UU Air, belum tentu saya tidak peduli terhadap pengesahannya ;-) Kalau untuk UU Sisdiknas, saya mengamati di milis lain bahwa sudah terwakili apa yang hendak saya sampaikan, sehingga saya tidak perlu "aktif dan vokal" (tsah!) bicara ;-)
Saya bisa bilang tidak peduli terhadap pengesahan UUP adalah karena menurut saya, masalahnya tidak signifikan. Potensi masalahnya lebih terletak pada ketidakpercayaan kita pada perangkat hukum Indonesia dan ketakutan kita akan sekelompok orang yang akan memanfaatkan hukum ini untuk berlaku sewenang2. Ditambah lagi bahwa pornografi adalah suatu konsep, bukan sesuatu yang nyata seperti pembunuhan, sehingga harus ada definisi yang merupakan titik temu.
Karena kebetulan bidang pekerjaan saya sehari2 mengurus hal seperti ini, buat saya meminimalkan potensi masalahnya mudah saja: edukasi dan sosialisasi cara membaca UUP ini. Dan saya sekedar memberikan komentar berupa cara saya membacanya. Cara membaca yang justru sudah terbukti membuat saya merasa lebih aman dengan adanya UUP ini.
Talking about ideal, buat saya yang ideal adalah jika sistem peradilan Indonesia bisa membaca UUP seperti saya membacanya, dan kemudian menyadari bahwa di pundaknya terletak tanggung jawab yang besar menentukan keadilan yang benar2 adil. Karena UUP ini sifatnya hanya untuk memberi legalitas saling mengadukan (alternatif dari main hakim sendiri), dan selanjutnya tergantung pada kebijakan pengadilan.
Next best thing, kalau orang lain bisa membaca UUP ini seperti saya dan kemudian bersama2 memperbaiki bolong2 yang [pasti] masih ada; sehingga makin banyak orang yang merasa aman dengan adanya UUP ini, dan secara tidak langsung memvetakompli sistem peradilan agar sadar bahwa ia memiliki tanggung jawab yang besar.
Tapi saya sadar, bahwa seperti kata Karen Carpenter dalam lagu kesukaan saya:
I know I ask perfection of
a quite imperfect world,
And fool enough to think
that's what I'll find
Oleh karena itu saya tidak berkeberatan jika ada orang2 yang merasa UUP ini adalah bencana nasional tak terperikan; sehingga satu2nya penyelesaian adalah menggagalkan pengesahan UUP ini ;-) Cara saya membaca? Itu sih cara membaca orang yang "nrimo", tidak peduli nasib bangsa dan negara ;-)
D. PENUTUP
Kalau tidak salah, awal Pak Manneke mengajak saya diskusi ada pertanyaan apakah saya siap mengubah pendapat saya. Buat Bang Harez (atau Bidadari Cantik ya?) saya sudah katakan bahwa saya menyukai enlightening discussion, masalah berubah atau tidak itu nomor sekian.
Sekarang saya harus tanya lagi: fokus Pak Manneke dalam diskusi ini apa? Jika untuk mengubah pandangan saya, membuat saya menjadi salah satu "kekuatan baru" yang menentang pengesahan UUP, maka memang diskusi ini harus dihentikan. Tapi kalau mau sama2 diskusi mengenai bagaimana menyikapi UUP yang sudah kadung disahkan sehingga nggak terlalu banyak mengurangi kenyamanan kita, let's do it.
Saya memang bukan orang yang mudah mengubah pendapat. Tapi saya bukan batu kok... hehehe... kalau ada yang memberikan alasan tepat, saya bisa saja setuju. Beberapa kali saya juga bilang "OK, you got your point. Jadi, solusinya gimana?" pada Bang Harez... hehehe... although it hurts my ego to swallow my pride... HAHAHA...
Kesibukan akhir tahun saya memang sudah dimulai (biasaa... kalau akhir tahun banyak yang sibuk mempersiapkan marketing plan buat tahun berikutnya), sehingga nggak mungkin sering2 menengok milis lagi. Tapi saya usahakan 1x sehari ngintip. Mohon maaf di muka jika kemudian ternyata ada tanggapan yang terlewat.
Buat menutup perjumpaan kita, sebuah syair manis lagi, masih dari lagu dan penyanyi yang sama:
So here I am with pocket full
of good intentions
Hanging on a hope,
But I'm all right
Salam,
--- In psikologi_transform
>
> Halo Mbak Swas,
>
> Semoga sudah kembali beraktifitas dan menikmati liburan akhir pekan kemarin.
> Saya sekadar maau nyambung diskusi kita yang terputus kemarin.
>
> Saya akan mulai dengan persoalan makna "DAPAT" dan "DENGAN SENGAJA". Dalam
> sistem hukum pidana kita, formulasi "DENGAN SENGAJA" itu sudah lazim dipakai.
> Seseorang yang "dengan sengaja" menghilangkan nyawa orang lain beda pasal serta
> bobot hukumannya dibandingkan dengan melakukan "kelalaian" yang menyebabkan
> hilangnya nyawa orang lain. Kesengajaan dapat dibuktikan (ada perencanaan)
> sementara kalau "DAPAT" itu masih berupa potensi, dan semestinya belum bisa
> dikenai pidana. Wong baru potensial kok. Ini kalo maknanya "opsi" lho ya. Kalau
> makna "DAPAT" di situ berarti "kemampuan", maka yang mampu dalam UU Porno ini
> materinya ataau orang yang melihatnya? Kalau orang yang melihat, semestinya
> yang dikenai pidana ya orang itu, bukan materinya yang dilarang.
>
> Jadi kalau Anda bilang "DAPAT" itu berarti "tinggal selangkah lagi untuk
> dibuktikan", ini malah aneh, karena langkah terakhir untuk membuktikan itu
> menemui gang buntu, karena ya masih potensial itu tadi. Sementara, perbedaan
> antara "khilaf" dan "sengaja" justru lazim dipakai, lihat saja KUHAP. Hukum RI
> yang pakai rumusan "DAPAT" untuk menghukum orang adalah UU Subversif zaman Orba
> dulu. Baru dicurigai sudah bisa masuk bui, meski belum melakukan apa-apa,
> karena dianggap "DAPAT" membahayakan negara.
>
> Contoh peniti yang Anda berikan justru tak tepat sasaran. Kalau Anda mati kena
> tusuk peniti, maka berapa berat hukuman penusuknya akan sepenuhnya ditentukan
> apakah itu kelalaian (khilaf) atau kesengajaan. Anda sendiri sih udah mati
> (kalau memang peniti itu karatan dan bikin infeksi), jadi nggak perlu
> dibuktikan lagi. Yang perlu dibuktikan itu sengaja atau tidaknya si pelaku.
>
> Anda kemudian juga menyatakan "kesan bisa diukur"? Bagaimana sih caranya
> mengukur impresi? Alat ukurnya apa? Akan sangat menarik membacaa penjelasan
> Mbak Swas tentang hal ini, yang sama sekali baru buat saya. Tolong saya
> dicerahkan deh.
>
> Selanjutnya, Anda menyatakan bahwa pelanggaran kesusilaan ditentukan oleh adat
> tempat seseorang hidup. Bisa jadi betul. Tapi UU Porno ini hukum nasional, Mbak
> Swas, bukan level Perda. Kalau hukum nasional dia harus bisa memayungi seluruh
> pelosok negeri dari Sabang sampai Merauke. Jadi aneh kalau ada hukum nasional
> yang berisi larangan-larangan dan sanksi-sanksi, tapi lalu memulangkan norma-
> normanya ke adat-istiadat masing-masing daerah di NKRI. Saya ingin tahu apakah
> ada UU lain di bumi Indonesia ini yang unik seperti ini? Kita ini masih KNRI
> atau sudah jadi republik federal? Jika betul maksud UU ini seperti yang Anda
> katakan, maka sebetulnya UU ini sudah melanggar sumber hukum yang lebih
> fundamental, yaitu UUD.
>
> Contoh yang Anda berikan, yaitu orang Papua boleh pakai koteka di Papua tapi
> tak bisa pakai koteka di NAD, ini menurut saya bisa menyesatkan, Mbak Swas.
> Kalau logika yang sama dipakai secara terbalik bagaimana? Bagaimana dengan
> orang NAD berjilbab yang ke Papua? Boleh nggak dia pakai jilbabnya di Papua
> sana atau harus ikut adat orang Papua yang pakai rok dari rumbai-rumbai? Sekali
> lagi, jika betul bahwa ini adalah semangat yang jadi landasan UU Porno itu,
> maka betul kata banyak penentang: UU ini memang akan menjadi alat pemecah-belah
> bangsa.
>
> Lalu, Anda katakan (saya kutipkan): "dalam kasus UUP ini, saya tidak melihat
> apa batasan pornografi dan susila pada masing2 orang, melainkan melihat apakah
> UUP ini bisa diterima secara umum (walaupun pasti akan membatasi kebebasan
> orang per orang sampai derajat tertentu)." Apa yang Anda maksud dengan "bisa
> diterima secara umum"? Ketika UU ini memicu kontroversi yang begitu besar dan
> mengkotak-kotakkan masyarakat secara sangat tajam, apakah ini bisa disebut
> sebagai "diterima secara umum"? Ataukah Anda maksudkan "umum" di sini
> sebagai "mayoritas"? Jika ya, perlu dirinci dulu, mayoritas dari aspek apa?
> Ras, agama? Jika ini yang dimaksud, yang manapun kategori yang diacu oleh
> kata "mayoritas" itu, maka tetap akan bermasalah serius, sebab berarti negeri
> ini tak lagi dipahami sebagai sebuah negara kesatuan.
>
> Kemudian, Anda bertanya: "apakah ada [orang "normal"] yang bisa secara tegas
> mengatakan hasrat seksualnya tidak pernah terbangkit saat melihat adegan
> persenggamaan?
> Swas. "Persenggamaan" yang kaya apa dulu nih? Kalo persenggamaan antara manusia
> dan binatang, "orang normal" yang Anda maksud tentu tak akan terangsang. Kalo
> persenggamaan antara pasangan homoseksual, "orang normal" yang Anda maksud juga
> tak akan terangsang. Bukan begitu? Jadi, campur-aduk inilah yang bikin pasal
> ini jadi kacau dan keefektifan operasionalnya sangat diragukan, kalau kita
> melihat ketidakjelasan ini saja.
>
> Pengumuman proklamasi RI oleh Sukarno-Hatta rasa-rasanya tak cocok untuk
> dijadikan sebagai analogi UU ini, Mbak Swas. Proklamasi dilakukan dalam keadaan
> serba darurat, memanfaatkan air keruh usainya perang dunia II ketika sekutu dan
> Jepang sama-sama sibuk. Pasangan proklamator itu sampai mesti diculik dulu ke
> Rengasdengklok dan "dipaksa" membuat draft kasar proklamasi untuk dibacakan.
> Lha UU ini daruratnya di mana? Ini zaman merdeka dan tak ada Jepang atau
> Belanda yang akan masuk kampung. Masalahnya, Pansusnya saja yang tak mau terima
> masukan. Dan akibat dari sikap Pansus yang tidak demokratis ini, UU yang
> dihasilkannya pun sarat masalah. Namun, sebetulnya, kedaruratan juga tak boleh
> dijadikan justifikasi setiap saat. Pengumuman kemerdekaan AS dari kolonialisme
> Inggris dilakukan dengan rapi, bahkan preamble Konstitusinya saja sudah siap
> dan ditandatangani oleh banyak tokoh yang mewakili berbagai daerah.
>
> Mbak Swas, pertanyaan Anda: "adakah UU yang tidak bermasalah di Indonesia?"
> yang lalu disusul dengan pernyataan bahwa kalau memang ini "standar" pembuatan
> UU di Indonesia, maka kita mau apa lagi, menurut saya tak kalah sarat dengan
> masalah. Jelas ada UU lain di Indonesia yang bermasalah, dan semua itu bukannya
> tidak ditolak atau dilawan. UU Pilpres sedang ditentang, UU Sisdiknas dulu
> hampir sama kontroversialnya dengan UU Porno, UU Air sangat kontroversial dan
> sampai kini tetap dilawan. Sangat wajar jika semua orang yang punya kepedulian
> terhadap nasib bangsa dan negeri tempat ia hidup punya keprihatinan terhadap
> kualitas berbagai UU yang dihasilkan DPR. Jika "standar" yang sedemikian rendah
> itu diterima begitu saja tanpa gugatan, tak akan ada yang berubah di negeri ini
> sejak zaman kumpeni dulu, Mbak Swas. Dunia berubah karena manusia peduli, dan
> karena mereka selalu berusaha memperbaiki situasi alih-alih menerima saja
> situasi apapun yang disodorkan kepada mereka. Mudah-mudahan bukan ini
> sebetulnya sikap Anda ketika Anda berkata bahwa Anda menerima "anomie" itu.
>
> Maaf, Mbak Swas, karena jika betul inilah sikap Anda sebenarnya, yaitu "terima
> saja standar apapun yang ada", maka memang betul bahwa diskusi ini sudah harus
> berakhir di sini. Saya secara pribadi sesungguhnya mengharapkan lebih daripada
> sekadar itu dari seseorang seperti Anda. Kalau dari manusia macam Hendrik
> Bakrie, saya memang tak bisa mengharapkan apa-apa.
>
> Ke bawah, Anda katakan: "Tapi sebenarnya saya jadi bingung: sebenarnya
> masalahnya dimana? Karena UUP yang dihasilkan tidak sesempurna yang diusulkan
> karena Pansus tidak mengakomodasi masukan? Atau karena isi UUP-nya sama sekali
> tidak bisa diterima?" Saya pikir pertanyaan ini menjurus ke arah debat kusir.
> Sudah sangat jelas mestinya masalahnya di mana: jika UU tidak sempurna, dan ada
> masukan yang bisa menyempurnakannya, tapi Pansus tak mau dengar, maka jelas
> akibatnya adalah produk UU-nya jadi bermasalah. Justru saya nih yang sekarang
> jadi bingung kok hal segamblang ini bisa bikin Anda bingung? Perlu dicatat
> bahwa "tak sempurna" itu sebutan yang terlalu halus untuk merujuk pada
> persoalan yang ada dalam UU ini. Istilah yang lebih persis adalah bahwa dari
> segi hukum UU ini mengandung cacat karena definisinya tak dapat
> dioperasionalkan karena bergaia hal yang sudah dilontarkan para penentang
> selama ini.
>
> Anda katakan juga: "Sebab, walaupun ada masalah, jika isinya masih dapat
> diterima, saya cenderung menerimanya. Seperti yang saya lakukan saat ini. Saya
> tidak melihat prosesnya. Ibarat makanan, saya lihat masakannya enak, saya tahu
> tidak mengandung racun, ya saya makan. Saya tidak akan mempertanyakan bahwa
> harusnya bumbunya ditambah ini, biar lebih bermanfaat bagi kesehatan." Ini juga
> cenderung mementahkan lagi diskusi yang sudah berkembang sejauh ini. Saya pikir
> sudah amat jelas diterangkan bahwa yang bermasalah itu isi UU ini, jadi aneh
> ketika Anda katakan bahwa "walaupun ada masalah" tapi "isinya masih dapaat
> diterima". Bukankah yang dipersoalkan banyak orang termasuk Bung Harez, adalah
> isi serta pasal-pasalnya? Analogi makanan enak vs sehat juga tidak pas, Mbak
> Swas. UU itu harus bisa menjadi sebuah patokan ideal, bukan subsisten. Makanan
> yang ideal adalah yang sehat dan enak, bukan cuma enak. Kalau kita membuat
> suatu ancangan makanan, maka patokan yang semestinya dipakai ya yang ideal. itu
> kalau bangsa ini mau jadi bangsa yang sehat, bukan cuma yang kenyang makan.
> Kalau ini dipakai sebagai analogi UU Porno, hanya akan makin membuka borok pada
> UU itu.
>
> Membandingkan UU ini dengan kasus Lapindo untuk menentukan derajat kepentingan
> serta bagaimana kita mesti bersikap juga tak tepat dan misleading. Jika kita
> ikuti berbagai diskusi di mili-milis besar lain (mediacare, FPK) maka
> kepedulian terhadap isu UU Porno dan isu Lapindo berjalan bersama-sama, tidak
> pakai harus pilih yang ini atau yang itu. Seandainya Lapindo adalah kasus yang
> jauh lebih darurat daripada UU Porno dan wajib dipikiri seluruh bangsa, saya
> terus terang belum melihat--paling tidak di milis Psi-Trans ini--bahwa Mbak
> Swas aktif dan vokal berbicara menggugat Lapindo dalam intensitas seperti
> diskusi kita tentang Uu Porno saat ini. Saya bukannya mau mempertanyakan
> integritas Anda, tapi pernyataan Anda sendiri yang menuntut wujud konkrit dari
> sikap Anda (terhadap isu Lapindo). Jika tidak, maka memang pembandingan UU
> Porno dan kasus Lapindo tidak pada tempatnya.
>
> Tak ada yang ironis di sini, Mbak Swas. Saya khawatir Anda mempersepsikan
> diskusi antara Anda dan para penentang UU di milis ini secara tidak pas. Fakta
> bahwa sebagian besar penentang UU Porno di milis ini adalah laki-laki justru
> menunjukkan bahwa persoalan yang ditimbulkan UU ini bukan hanya persoalan
> perempuan, melainkan persoalan seluruh warga negara, tak peduli apa jenis
> kelamin atau gendernya. Kalau kesan ironis ini dibenarkan, maka bisa dengan
> mudah lahir ironi lain: kaum laki-laki saja mau peduli terhadap persoalan yang
> terkandung dalam UU ini, lha yang perempuan--yang konon lebih terancam
> kebebasannya oleh UU ini--malah menyatakan diri tak peduli karena ya memang
> sudah beginilah keadaannya di Indonesia, mau apa lagi?
>
> Saya nantikan kabar selanjutnya dari Anda, jika sudah tidak terlalu capek atau
> sibuk.

Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home