[psikologi_transformatif] Re: Pre-Square One (Menakar Universality)
Quote: ... Pada awalnya saya percaya bahwa Tuhan sebagai the ultimate Goodness and Truth itu ada, walaupun tidak bisa dibuktikan..
TuHanTu: Jadi dengan kutipan di atas, apakah udah bisa dikatakan bahwa *Square-One* versi Mbak Swas adalah *Religious Truth*...?..
Quote: Contohnya ya seperti obrolan bersama Tuhantu tentang Adam-Hawa itu; dimana saya tetap percaya bahwa narasi agama benar, tetapi tidak harafiah, sehingga tidak bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan maupun perkembangan batasan sosial. End of quote.
TuHanTu: Kalaupun Adam-Hawa benar sekalipun bukan secara harafiah, saya juga tidak begitu saja menangkap informasi tersebut sebagai sebuah kebenaran religious (religious truth) ... Makanya, ketika menanggapi Mas Leo, saya sempat singgung bahwa Musa bukanlah Author dari kisah Adam-Hawa... Dan ketikapun kemudian Mbak Swas menganggapnya sebagai sebuah *kebenaran* itupun karena memang demikianlah informasi tersebut disebarkan, via kitab-kitab suci... Thats fine...
*Intensi* saya dalam diskusi Adam-Hawa ini adalah mengumpul sudut pandang tentang informasi sekaligus mengenali celah, lubang dalam cerita tersebut lalu mengembangkannya dengan menggunakan pendekatan/metode yang sama yang dilakukan oleh Enoch, ribuan tahun lalu di Mesir ---> Dongeng alias Fantasy.
Ah ya, tentang pusat semesta, saya setuju dengan apa yg ditulis oleh Howl dulu, bahwa fikiran adalah universe tiap-tiap orang... Ketika Mbak Swas memberikan penilaian terhadap seseorang lain yakni orang lain tsb merasa sebagai pusat semesta, Mbak Swas sendiri -sadar atau tidak sadar- sedang hidup terpusat dalam semesta mbak Swas sendiri... Pemahaman ini sangat terkait dengan my question that you havent answer...How *uni* can be defined by the layers of *verses* (Ingat lho, universitas yang melahirkan mbak Swas itu berkata dasar Uni dan Verse) masak nggak bisa jawab...lol.
Be Fun
TuHanTu
--- In psikologi_transform
>
>
> --- In psikologi_transform
> adhi_p@ wrote:
> >
> > Makasih jawabannya mbak Swas.
> >
> > Namun saya belum memahami maksud mbak Swas agama sebagai koridor
> dimana iman mbak diletakkan di sana. Kalau begitu, apakah agama yang
> membentuk iman mbak atau iman mbak ada dahulu lalu mengambil agama
> sebagai tradisi untuk koridornya? Maksudnya tradisi di sini adalah, mbak
> tidak percaya begitu saja klaim dan cerita dari narasi agama mbak,
> melainkan hanya digunakan sebagai alat transenden dan kepuasan
> budaya/tradisi yang sudah memberikan pengalaman menguatkan iman (juga
> kenyamanan) dalam kehidupan keseharian mbak.
>
> Kayaknya kalimat berwarna merah cukup fair untuk menjelaskan saya.
>
> Pada awalnya saya percaya bahwa Tuhan sebagai the ultimate Goodness and
> Truth itu ada, walaupun tidak bisa dibuktikan. Itu "faith" yang muncul;
> yang menyebabkan saya tidak menjadi Agnostik atau Ateis, melainkan
> menjadi "Religius". Religius di sini berarti berani menerima yang tak
> terbuktikan. Tapi menjadi religius tentunya membutuhkan "religi" sebagai
> acuan bagi hal2 yang tak terbuktikan. Dan untuk itulah saya memilih
> salah satu agama dari sekian banyak pilihan, yang bagi saya paling pas.
>
> Saya meletakkan agama sebagai "jangkar". Saya mempercayai semua
> klaim/cerita dari narasi agama, tetapi tidak secara harafiah :)
> Contohnya ya seperti obrolan bersama Tuhantu tentang Adam-Hawa itu;
> dimana saya tetap percaya bahwa narasi agama benar, tetapi tidak
> harafiah, sehingga tidak bertentangan dengan perkembangan ilmu
> pengetahuan maupun perkembangan batasan sosial. Dan kebebasan bermain2
> pikiran, perasaan, dan pengalaman dengan berjangkarkan agama ini membuat
> saya bertransendensi :) So, in a way, memang dapat dikatakan bahwa agama
> adalah alat/kendaraan saya bertransendensi.
>
> Iman mbak tidak dibatasi oleh agama, melainkan terbentuk dari pengalaman
> dan kekaguman secara rohani pribadi.
>
> Nggak tahu juga ya. Kalau agama sebagai jangkar iman, sesuatu yang
> menahan supaya tidak hanyut, itu artinya membatasi atau tidak
> membatasi? Hehehe... Hanyut di sini saya artikan sebagai "ego" yang
> berlebihan. Ora ngrumangsani, kalau orang Jawa bilang, alias tidak
> menyadari keterbatasan dirinya. Merasa dirinya paling hebat, lebih
> hebat, tahu segala, nggak butuh yang lain2, satu2nya penentu dalam
> kehidupannya, apalagi merasa dirinya adalah pusat semesta :)
>

Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home