[psikologi_transformatif] Re: Pak Man --> Re: IKAYANA Jatim
Saya pikir kita berdua tidak mempersoalkan apakah sikap saya atau sikap Anda
salah atau betul. Bukan itu inti dan semangat diskusi kita. Jadi, Anda tak
perlu khawatir bahwa saya hendak menggiring diskusi ini ke penghakiman itu.
Untuk detil tanggapan saya mengenai pasal demi pasal, saya sudah postingkan di
sini dalam email yang lain.
Quoting was_swas <was_swas@yahoo.
>
> Dear Pak Man,
>
> Saya memilih untuk menjawab posting Anda sebagai anchor untuk jawaban
> terhadap yang lainnya :)
>
> > Untuk dapat mencapai suatu interpretasi yang "humanly objective" serta
> > meminimalisasi ekses 'fobia', maka jalan terbaik adalah memastikan
> bahwa fakta-
> > faktanya (yakni pasal-pasal UU itu) harus dibuat sedemikian rupa
> sehingga
> > mendorong terjadinya kesamaan persepsi, bukan malah sengaja dibuka
> sehingga
> > bisa diinterpretasikan secara karet. Tapi, justru langkah yang
> sifatnya
> > konvergen ini tidak ditempuh oleh Pansus. Dan saya kira cukup
> beralasan bagi
> > kita untuk bertanya mengapa.
>
> Saya setuju bahwa fakta2nya (yakni pasal-pasal UU itu) harus dibuat
> sedemikian rupa sehingga mendorong terjadinya kesamaan persepsi, tidak
> sengaja dibuka sehingga bisa diinterpretasikan secara karet. Di sini
> kita tidak ada perbedaan, Pak :)
>
> Yang menjadi perbedaan, Pak, saya merasa UUP ini suda mendorong
> terjadinya kesamaan persepsi. Bahwa kemudian masih ada kemungkinan
> perbedaan persepsi, menurut saya sangat wajar dan sudah seminimal
> mungkin.
>
> Persisnya pandangan saya akan saya jabarkan lebih jelas menggunakan
> kiriman UUP dari Howl di posting lain.
>
> > Diskusi ini kalau mau dilanjutkan secara serius memang mesti mengarah
> kepada
> > pertanyaan, "sudah itu apa?" Saya perkirakan ini akan sangat sulit
> sebab,
> > seperti saya katakan di atas, pasal-pasal UU itu memmang tidak
> memungkinkan
> > orang mencapai kata sepakat. Dengan kata lain, dia tidak membuka diri
> bagi
> > suatu tafsir yang "humanly objective". Dari sini saja, saya melihat
> bahwa sudah
> > ada masalah besar dengan UU ini. Mbak Swas bisa tanggapi kerisauan
> saya ini?
> > Ini nantinya akan membawa kita pada pertanyaan:1) apakah UU ini
> bermasalah atau
> > tidak, 2) apakah UU ini penting untuk diadakan atau tidak, dan 3)
> apakah UU ini
> > perlu dikritisi atau tidak.
>
> Saya sangat bisa memahami kerisauan Bapak (ataupun teman-teman yang
> lain). Dan saya tidak berkeberatan dengan itu :) Jika Anda (dan
> teman-teman lain) merasa perlu memperpanjang kontroversi UUP ini,
> silakan! Saya tidak akan menjadi orang di garis depan yang akan
> menantang Anda-Anda sekalian agar tidak menggugat UUP ini.
>
> Saya hanya tidak berbagi semangat itu dengan Anda-Anda sekalian. Apakah
> itu salah?
>
> Salam,
>
>
> --- In psikologi_transform
> >
> > Dear Swas,
> >
> > Itu perkawinan halal. Memang begitulah kejadian poses interpretasi dan
> tak ada
> > cara lain.
> >
> > Untuk dapat mencapai suatu interpretasi yang "humanly objective" serta
> > meminimalisasi ekses 'fobia', maka jalan terbaik adalah memastikan
> bahwa fakta-
> > faktanya (yakni pasal-pasal UU itu) harus dibuat sedemikian rupa
> sehingga
> > mendorong terjadinya kesamaan persepsi, bukan malah sengaja dibuka
> sehingga
> > bisa diinterpretasikan secara karet. Tapi, justru langkah yang
> sifatnya
> > konvergen ini tidak ditempuh oleh Pansus. Dan saya kira cukup
> beralasan bagi
> > kita untuk bertanya mengapa.
> >
> > Untuk saat ini, suara yang fobia boleh kita kesampingkan dulu, dan
> mari fokus
> > pada suara prihatin yang bisa jernih melihat permasalahan pada
> pasal-pasal.
> > Sambil kita tidak lupa bahwa di luar sana, fobia terhadap UU itu ada
> dan nyata.
> > Jadi apapun langkah yang ditempuh selanjutnya perlu dapat membantu
> yang fobia
> > itu untuk meredam fobianya. Dan ini tak bisa dilakukan dengan sikap
> go-to-hell,
> > tetapi harus dengan pembuktian bahwa UU ini tidak semenakutkan seperti
> yang
> > mereka persepsikan. Sayangnya lagi, langkah ini pun tidak diambil. Dan
> lagi-
> > lagi saya bertanya-tanya, kenapa?
> >
> > Diskusi ini kalau mau dilanjutkan secara serius memang mesti mengarah
> kepada
> > pertanyaan, "sudah itu apa?" Saya perkirakan ini akan sangat sulit
> sebab,
> > seperti saya katakan di atas, pasal-pasal UU itu memmang tidak
> memungkinkan
> > orang mencapai kata sepakat. Dengan kata lain, dia tidak membuka diri
> bagi
> > suatu tafsir yang "humanly objective". Dari sini saja, saya melihat
> bahwa sudah
> > ada masalah besar dengan UU ini. Mbak Swas bisa tanggapi kerisauan
> saya ini?
> > Ini nantinya akan membawa kita pada pertanyaan:1) apakah UU ini
> bermasalah atau
> > tidak, 2) apakah UU ini penting untuk diadakan atau tidak, dan 3)
> apakah UU ini
> > perlu dikritisi atau tidak.
> >
> > Mengingat Anda tak hanya menjawab posting saya tapi juga banyak
> postingan lain
> > tentang topik yang sama, saya maklum jika Anda terpaksa menjawab
> secara singkat-
> > singkat, atau menggabung beberapa jawaban menjadi satu, atau tak
> menjawab
> > beberapa posting dan menjawab yang lainnya. Saya tetap bisa mengikuti
> jalan
> > pikiran Anda lewat jawaban-jawaban Anda kepada yang lain-lain juga
> kok.
> >
> >
> >
> > Quoting was_swas was_swas@...
> >
> > >
> > > --- In psikologi_transform
> > > >
> > > > Dalam pengertian saya, Mbak Swas, interpretasi merupakan hasil
> > > perkawinan
> > > > antara persepsi dan fakta, jadi tak bisa dipisahkan secara tegas
> > > antara
> > > > interpretasi dan persepsi.
> > > >
> > > > Saya juga tak terlalu yakin ada yang murni namanya
> "misinterpretasi.
> > > Bagi saya
> > > > yang ada hanyalah kemajemukan interpretasi.
> > >
> > > Perkawinannya sah nggak, Pak ;)? Kalau nggak sah, ntar dikira kumpul
> > > kebo.. ;)
> > >
> > > Nggak masalah kalau mau disebut kemajemukan interpretasi. Apa pun
> > > istilahnya, saya mengacu pada apa yang disebut oleh Pak Pras sebagai
> > > "humanly objective". Mungkin tidak sepenuhnya obyektif, tapi tetap
> kita
> > > bisa mendapatkan titik temu. Masing2 orang punya "interpretasi"
> (yang
> > > Bapak sebut selalu subyektif itu). Tapi antar interpretasi itu dapat
> > > dikelompokkan hingga menemukan titik temu yang "humanly objective".
> > >
> > > Jadi, yang saya maksud dengan misinterpretasi adalah interpretasi di
> > > luar kelompok yang kita sebut humanly objective ini.
> > >
> > > > Misinterpretasi hanya bisa terjadi
> > > > jika antara fakta dan persepsi sama sekali nggak nyambung. Tapi,
> > > inipun masih
> > > > debatable apa betul bisa disebut misinterpretasi.
> > >
> > > Nggak saya tanggapi ya, karena sudah saya jelaskan maksud saya di
> atas
> > > :)
> > >
> > > > Contohnya, dalam kasus fobia,
> > > > ada orang yang ketakutan secara tidak proporsional dengan karet
> > > gelang,
> > > > misalnya. Buat kita yang tak fobi, ini ajaib banget dan nggak
> masuk
> > > akal.
> > > > secara longgar, kita bisa sebut bahwa fakta "karet gelang"
> > > dipersepsikan secara
> > > > jauh sebagai "sanat negatif dan berbahaya", hingga kita pun
> melihat
> > > bahwa karet
> > > > gelang diinterpretasikan oleh pengidap fobia itu sebagai
> "ancaman."
> > >
> > > Menurut saya, fobia adalah kasus khusus. Interpretasi dari mereka
> yang
> > > fobia tidak dapat digunakan untuk menjabarkan karakteristik karet
> gelang
> > > yang akan berlaku umum, kalau menurut saya. Karena ini tidak masuk
> > > himpunan yang humanly objective.
> > >
> > > > Proses pembuatan, pembahasan, perubahan, pengesahan RUU Porno ini
> > > begitu kacau-
> > > > balau dan kontroversial, sehingga bisa jadi di kalangan sebagian
> orang
> > > lalu
> > > > muncul semacam 'fobia'. Reaksi mereka jadi tidak proporsional
> akibat
> > > pengalaman
> > > > buruk selama proses tersebut, hingga sebuah produk huku yang di
> mata
> > > kita "tak
> > > > bermasalah" itu di mata mereka menjadi sebuah 'ancaman".
> > >
> > > Betul :) Setuju :)
> > >
> > > Oleh karena itu saya (dengan diskusi ini) mencoba memisahkan mana
> yang
> > > benar2 bahaya, mana yang "reaksi fobia". Kalaupun "reaksi fobia",
> dan
> > > ini "fobia masal", kita cari akarnya dimana. Akar itu yang kita
> > > "sembuhkan".
> > >
> > > Jika UUP adalah karet gelang, dan sebagian yang menentangnya adalah
> > > "reaksi fobia', maka harus kita cari dulu akar masalahnya. Kita
> nggak
> > > bisa cuma membungkus karet gelangnya dengan kain, karena masalah
> tidak
> > > selesai :)
> > >
> > > > Ini analogi amat longgar antara fobia RUU Porno dan fobia karet
> > > gelang, dan
> > > > saya pakai hanya demi memberikan kejelasan sedikit, bukan untuk
> > > mengalihkan
> > > > diskusi ke topik fobia karet gelang, yang saya tahu pasti jauh
> lebih
> > > dikuasai
> > > > para psikolog. Tentu jika Anda mau mengoreksi pemahaman saya
> tentang
> > > fobia,
> > > > saya akan seneng banget. Apalagi di milis ini juga banyak psikolog
> > > lain yang
> > > > bisa ikut nimbrung.
> > >
> > > Analogi yang bagus kok :) Saya bisa melihat apa yang Bapak maksudkan
> :)
> > > Moga2 nggak salah menangkap ya, Pak :)
> > >
> > > Yuk mari, saya pulang dulu :)
> > >
> > > Salam,
> > >
> > >
> >
>
>
>

Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch format to Traditional
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe
__,_._,___
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home