Howl

Diposting secara otomatis dari milis psikologi transformatif.

Thursday, November 6, 2008

[psikologi_transformatif] Re: Mengapa Saya Tidak Keberatan UUP Disahkan --> Re: Supaya diskusi

Mbak Swas,

Bukankah batasan permasalahan menentukan kerangka keseluruhan skripsi? Jika
antara batasan yang ada di bab I dan isi skripsi di bab-bab selanjutnya tak
berkaitan, apakah ini skripsi yang layak uji dan pantas diluluskan? Adalah
pasal 1 dalam UU yang menjadi pengikat dan bingkai pasal-pasal yang ada dalam
UU sebab di situlah pornografi diberi batasannya, dan UU ini namanya UU
Pornografi.

Tapi, bahkan kita perlu bertanya lagi apaka analogi UU dan skripsi ini
berterima? UU dampaknya adalah ke seluruh warga negara, dan nasib banyak orang
sedikit-banyak ditentukan oleh isi UU itu. Jadi, saya tak yakin perbandingan
ini cocok untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya sedang dipermasalahkan dalam
diskusi ini. UU juga tak punya landasan teori, seperti skripsi. Landasan UU
adalah kemaslahatan bagi seluruh warga.

Tapi lagi, andaikanlah Anda sampai titik ini benar. Tak usah repot
mempermasalahkan definisi yang cuma "latar belakang", dan fokus saja pada
detilnya ("landasan teori"). Mari kita lihat sekarang detil tersebut:

Pasal 4 ayat 1 butir h: ketelanjangan atau yang mengesankan ketelanjangan.
Tentu "ketelanjangan" bisa menghasilkan persepsi cukup seragam. Tapi bagaimana
dengan "mengesankan ketelanjangan"? Apakah KESAN bisa dijadikan tolok ukur
untuk penilaian objektif? Patutkah sebuah dokumen hukum memuat butir yang
mengandalkan diri pada kata "mengesankan"? Kalau "telanjang" bisa dibuktikan
tanpa terlalu repot di depan hakim, tapi kalau "mengesankan" ketelanjangan,
bukti mana yang diterima sebagai valid? KESAN kan terletak di mata dan benak
yang memandang, bukan di objek yang dipandang?

Jika dikakitkan dengan Pasal 1, bukankah ini memperlihatkan pola kekaburan dan
subjektifitas tinggi seperti pada pasal 1, khususnya di bagian yang
berbunyi "dapat membangkitkan hasrat seksual"? Kalau "sengaja bertujuan
membangkitkan hasrat seksual" masih mudah dibuktikan di pengadilan. Tapi
kalau "dapat" membangkitkan hasrat seksual, lagi-lagi kesan subjektif. "Dapat"
bisa berarti "(masih) berpotensi" dan belum terjadi. Dapat berati pula "mampu".
Dapat berarti pula "opsional", seperti halnya saya memakai kata "dapat" dalam
tiga kalimat terakhir saya ini.

Pasal 4 ayat 1 butir i: alat kelamin.
Jadi jika dimasukkan dalam bingkai definisi Pasal i, maka "materi seksualitas"
yang memuat "alat kelamin" (serta) yang "dapat membangkitkan hasrat seksual".
Lagi-lagi penentunya adalh Pasal 1 yang Anda anggap cuma "latar belakang" dan
tak sepenting pasal-pasal detil ("landasan teori"). memang betul ada
tambahan "atau melanggar kesusilaan", tapi ini tak menghilangkan adanya
opsionalitas: kalau tidak A, ya B (pilih salah satu). Tapi, apakah masyarakat
Indonesia yang majemuk ini betul sudah punya standar kesusilaan yang sama?

KESAMAAN ini yang tampaknya Anda asumsikan. Betul bahwa semua orang "normal"
sama-sama bisa terbangkit hasrat seksualnya. Tapi derajat seksualitas seperti
apa yang bisa membangkitkan hasrat seksual TIDAK SAMA dari satu orang ke orang
lain. Demikian pula, hal apa persisnya yang bisa membangkitkan hasrat seksual
itu juga tak sama pada semua orang "normal". Misalnya, apakah "ketelanjangan
atau yang mengesankan ketelanjangan" akan menyebabkan responsi sama secara
seksual pada setiap orang? Apakah muatan eksplisit "alat kelamin" akan
menimbulkan hasrat seksual pada setiap orang? Atau di mata setiap orang
dinilai "melanggar kesusilaan"?

Anda nyatakan bahwa pertanyaannya harus terfokus pada: "benarkah apa yang
dituliskan dalam Pasal 4 ayat 1 ini dapat membangkitkan hasrat seksual?
Bukankah jawabnya lagi-lagi adalah TERGANTUNG pada KESAN siapa dan hasrat
seksual SIAPA yang dapat terbangkitkan olehnya?

Anda juga katakan: "Jika jawabannya "Ya", maka sebenarnya tidak ada masalah
dalam pemilihan bahasanya. Jika kemudian ada yang menggunakan Pasal 1 sebagai
dasar, justru malah menimbulkan pertanyaan: kenapa memperluas sesuatu yang
sudah dikerucutkan?" Iya kalo jawabnya YA. Bagaimana kalau jawabnya TIDAK?
Berati ada masalah dong. Lalu, atas dasar atau pertimbangan apa YA atau TIDAK
ini akan diputuskan? Bukankah kuncinya terdapat pada kata "dapat" (Pasal 1)
dan "mengesankan" (Pasal 4) yang sama-sama mengambang itu?

Pasal 4 ayat 2 butir a dan b: idem ditto.

Pasal 6: "perundang-undangan".
Perundang-undangan mana yang mengatur siapa yang punya
wewenang "mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk
pornografi"? Sudah adakah? Sudah jelaskah isinya? Jika belum, maka kekhawatiran
Bude Ratih masih beralasan untuk dilontarkan dan tak bisa dianggap selesai
begitu saja dengan adanya UU ini.

Pasal 10: terkait dengan analisis Neon. Anda bisa menerima validitas keberatan
Neon, dan menurut Anda, silakan diusulkan saja untuk diperbaiki. Persoalannya,
bagaimana mau diusulkan untuk diperbaiki jika sudah disahkan? Kalau diajukan di
MK dan gugatan dimenangkan, apakah keseluruhan UU tidak akan terancam gugur?
Kembali ke sejarah proses perumusan RUU yang saya katakan menimbulkan "fobia"
pada banyak penentang itu, pertanyaannya adalah: mengapa ketika Pansus DPR
diberi masukan tentang pasal-pasal bermasalah, mereka bukannya memperbaikinya
tetapi lebih suka mengesahkannya terus?

Betul seperti kata Anda, bagi Anda pribadi, hal ini tak jadi masalah karena
Anda tak peduli apakah UU ini ada atau tidak, disahkan atau tidak. Tapi, ini
tidak menghilangkan fakta bahwa naskah UU-nya bermasalah, bukan? Pssal 10 pun
juga kena getah ketidakjelasan Pasal 1 dan 4.

Memang jika terjadi dispute, pengadilanlah yang akan memutuskan siapa yang
betul dan siapa yang salah. Tapi tunggu dulu, pengadilan hanya dapat memutuskan
betul atau salahnya sesuatu di dalam suatu kasus spesifik. Pengadilan tidak
dapat dan tidak berhak memutuskan bunyi rumusan UU-nya betul atau salah. Jadi,
bisa dibayangkan orang yang didakwa melanggar pasal-pasal karet ini akan begitu
susahnya mengurus keadilan akibat pasal-pasal UU yang tidak bersifat "humanly
objective" dan "sengaja" membuka pintu bagi multitafsir (saya
katakan "sengaja", sebab Pansus sudah diberi masukan tapi tak menghiraukannnya).

Pasal 11 dan 12: pornografi anak
Kedua pasal ini belum jelas efektif melindungi anak sepenuhnya. Apakah UU ini
secara implisit memungkinkan pihak-pihak yang "diberi kewenangan oleh perundang-
undangan" untuk melibatkan anak-anak dalam produksi-konsumsi pornografi? Salah
satu kritik para penentang adalah bahwa UU yang disebut-sebut melindungi anak-
anak ini tidaklah betul-betul melindungi anak-anak. Jika tujuannya demikian,
mengapa masukan agar pasal-pasal tentang perlindungan anak dipertajam dan
diberi fokus lebih besar tidak ditanggapi Pansus? Pertanyaan ini tentu tidak
dimaksudkan agar dijawab oleh Anda. Pertanyaan ini mengindikasikan bahwa ADA
masalah dalam naskah UU yang disahkan. Dan semua masalah itu BISA dicegah,
tetapi somehow Pansus memutuskan tidak mencegahnya dan membiarkannya saja untuk
tetap disahkan.

Mengenai adat, tradisi, dan seni budaya. Anda berpendapat: "saya jadi
bertanya2: sulitkah menerima dan mengakui bahwa adat istiadat kita mengandung
pornografi? Jika kita menerima adat kita mengandung ketelanjangan or whatever,
istilah pornografi atau tidak hanyalah masalah istilah. Yang jelas, secara
substansi, kita tidak dianggap kriminal jika melakukan adat istiadat itu."

Ya itu dia masalahnya, Mbak Swas. Pornografi menurut siapa? Makanya definisi
Pasal 1 dan 4 digugat. Asumsi bahwa "adat istiadat kita mengandung pornografi"
ini perlu dikaji dulu kebenarannya. Dia hanya menjadi benar jika pengertian
pornografi yang dipakai adalah pengertian pada UU ini. Padahal, jika
kata "dapat" (Pasal 1) dipertajam dengan "dengan sengaja dimaksudkan untuk
(membangkitkan hasrat seksual) dan "mengesankan ketelanjangan" (Pasal 4)
dibatasi saja menjadi "ketelanjangan", maka ada banyak persoalan benturan
dengan adat ini yang bisa dieliminasi. Tapi lagu-lagi Pansus bersikeras
mengesahkan rumusan yang kabur ini. Jadi, ADA masalah pada naskah UU yang sudah
disahkan ini. Dan itula sebabnya para penentang menolak pengesahannya.

Dampaknya pada adat, tradisi dan seni budaya juga tak hanya soal ISTILAH belaka
seperti Anda nyatakan. Dampaknya berupa kekerasan non-fisik, namun tetaplah
merupakan kekerasan, karena ada adat, tradisi dan seni yang akan mendapat
STIGMA sebagai "pornografi." Tidakkah ini berdampak serius pada pemeluk adat,
tradisi, seni tersebut? Bagi mereka, apa yang mereka praktikan itu tidak
dimaksudkan membangkitkan hasrat seksual dan menurut tata nilai mereka
tidak "melanggar kesusilaan" komunitas mereka, tapi negara melalui UU ini
mengategorikan praktik lokal itu sebagai "pornografi." Tidakkah ini sebuah
MASALAH besar bagi mereka, Mbak? (Memang bukan bagi Anda pribadi, sebab itu
bukan adat, tradisi, kesenian Anda. Tapi mengapa kita tidak bisa peduli pada
persoalan saudara sebangsa dan sesama rakyat?).

Mengenai pemblokiran internet (implikasi Pasal 19 dan 20). Mbak Swas katakan,
soal ini "bisa dibicarakan baik-baik." Bagaimana caranya, Mbak? UU ini udah
ketok palu. Selama proses perumusan sudah diberi banyak masukan, tapi tak
diindahkan. Bicara baik-baik sudah ditempuh kok. Tapi sekarang kan sudah
disahkan, apa lagi yang mau dibicarakan dengan baik?

Mengenai pasal-pasal tentang peran-serta masyarakat dalam "pencegahan"
dan "pembinaan". Masalahnya bukan terletak pada salah baca UU-nya, Mbak.
Soalnya adalah UU ini sengaja memakai kata-kata yang amat terbuka,
seperti "pencegahan" dan "pembinaan". Saya ingin tahu, apa yang ada di benak
Anda jika "pencegahan" dan "pembinaan" ini harus diwujudkan dalam implementasi.
Tindakan-tindakan apa saja yang termasuk dalam kedua kategori ini? Akankah sama
dengan yang ada di benak tetangga Anda, hansip di kelurahan sebelah, FPI di
Petamburan, dll? Bahkan ayat 2 yang mengatur pelaksanaan yang "bertanggung
jawab dan sesuai perundang-undangan" pun dibiarkan terbuka. Bisa saja jika ada
orang yang sudah digebuki FPI lalu menuntut di pengadilan, dan akan ada dispute
panjang dan lama soal makna "pencegahan", "pembinaan", "bertanggung
jawab" "sesuai perundangan" dsb. Tapi jika itu semua bisa dicegah dengan
membuat rumusan yang lebih konkrit dan spesifik, kenapa itu tak dilakukan oleh
Pansus? Bukan cuma satu keganjilan dengan Pansus ini, tapi ada banyak, Mbak.
Makanya naskah UU ini dipandang bermasalah dan ditolak pengesahannya.

Sebagai summary, saya sampaikan bahwa MASALAH tidak terletak pada pernyataan
Anda bahwa Anda tak punya masalah dengan UU ini. Masalahnya ada pada NASKAH UU
PORNO itu. Dan semua masalah itu bukanlah masalah yang tak bisa dihindarkan.
Bisa dan mudah dan cepat, asal ada kemauan politis dari Pansus dan DPR.
Nyatanya, hal itu tak terjadi dan UU sudah disahkan. Ini menjelaskan mengapa
kini UU ditolak sebagai UU bermasalah oleh para penentang.

Bahwa Anda pribadi tak peduli dengan UU ini, sikap itu harus dihormati oleh
para penolak UU. Khususnya jika akar ketidakpeduliaannya terletak pada posisi
Anda sebagai "anomie". Namun, tidak mustahil bukan jika kita bersama-sama
mencoba menggali mengapa sikap itu diambil? Sebab, dalam paparan Anda tentang
pasal demi pasal, sikap Anda tampaknya cukup dibentuk oleh pendapat Anda bahwa
pasal-pasal dalam UU TIDAK bermasalah. Jadi, sikap itu tak hanya didasari oleh
posisi "anomie" belaka. Makanya, saya coba perlihatkan bahwa ADA lho masalah
dalam pasal-pasal itu.

Sekarang saya tunggu tanggapan Anda atas tanggapan saya. Itupun jika Anda masih
berminat melanjutkan diskusi. Jika And amemutuskan cukup sampai di sini saja,
saya pun memakluminya sebagai konsekuensi dari ke-"anomie"-an Anda. Dan diskusi
ini kita tutup secara baik-baik.

Quoting was_swas <was_swas@yahoo.com>:

>
> Bagian ini memenuhi janji saya pada Pak Man menjelaskan mengapa saya
> tidak peduli UUP disahkan atau tidak :) Yang lain juga boleh baca dan
> semoga tidak meributkan pilihan pribadi saya ;)
>
> Jika pilihan saya menjadi konformis dipermasalahkan, diharuskan menjadi
> rebel/inovator, lantas apa bedanya keadaan yang saya alami dengan apa
> yang Anda takutkan akan terjadi karena UUP disahkan ;)?
>
> Catatan awal: saya membaca ayat per ayat ini sebagai dokumen yang kata
> per katanya berimplikasi hukum. Mengenai apakah hukum di negara kita
> akan berlaku seperti yang seharusnya, itu saya kesampingkan dulu.
> Seperti saya katakan, saya sendiri sudah merasa hidup dalam anomie :)
>
> -------------------
>
> > 2008/11/5 Howl scimindd@...
> >
> > > RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG
> > > PORNOGRAFI
> > >
> > > BAB I
> > > KETENTUAN UMUM
> > >
> > > Pasal 1
> > > Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
> > >
> > > 1.Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat
> > > oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi,
> > > foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi,
> > > kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
> > > pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media
> > > komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang
> > > dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar
> > > nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
> > >
> > > 2.Jasa pornografi adalah segala jenis layanan
> > > pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan
> > > atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi
> > > kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet,
> > > dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar,
> > > majalah, dan barang cetakan lainnya.
> > >
> > > 3.Setiap orang adalah orang perseorangan atau
> > > korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
> > > berbadan hukum.
> > >
> > > 4.Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
> > > belas) tahun.
> > >
> > > 5.Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin
> > > oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang
> > > kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
> > > sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
> > > Republik Indonesia Tahun 1945.
> > >
> > > 6.Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
> > > Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
> > > penyelenggara pemerintahan daerah.
> > >
> > > Pasal 2
> > > Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha
> > > Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat
> > > kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum,
> > > nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga
> > > negara.
> > >
> > > Pasal 3
> > > Pengaturan pornografi bertujuan:
> > > a.mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan
> > > masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur,
> > > menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
> > > serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
> > >
> > > b.memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral
> > > dan akhlak masyarakat;
> > >
> > > c.memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi
> > > warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan
> > > perempuan; dan
> > > d.mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi
> > > seks di masyarakat.
>
> Jika UUP adalah "skripsi", maka Bab I ini menurut saya adalah Latar
> Belakang permasalahan. Baru menjelaskan apa sih yang akan dilarang dan
> dibatasi dengan UU ini. Oleh karena itu, saya tidak berkeberatan dengan
> batasan:
>
> > >1.Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat
> > > oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi,
> > > foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi,
> > > kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
> > > pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media
> > > komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang
> > > dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar
> > > nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
>
> Kata2 " dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar
> nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat" dinilai tidak jelas? Saya
> tidak keberatan, karena di sini baru menjelaskan apa pornografi itu.
> Bukan apa yang dilarang :)
>
> Justru, ketika semua orang mempermasalahkan Pasal 1 ini, saya menjadi
> heran. Kembali dengan analogi "skripsi", setelah Latar Belakang, kita
> punya Landasan Teori. Pada Landasan Teori itulah diperjelas
> detil-detilnya.
>
> > > BAB II
> > > LARANGAN DAN PEMBATASAN
> > >
> > > Pasal 4
> > > (1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat,
> > > memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,
> > > menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
> > > memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
> > > pornografi yang memuat:
> > >
> > > e.persenggamaan, termasuk persenggamaan yang
> > > menyimpang;
> > >
> > > f.kekerasan seksual;
> > >
> > > g.masturbasi atau onani;
> > >
> > > h.ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
> > > ketelanjangan; atau
> > >
> > > i.alat kelamin.
> > >
> > > (2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi
> > > yang:
> > >
> > > a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau
> > > tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
> > >
> > > b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
> > >
> > > c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual;
> > > atau
> > > d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun
> > > tidak langsung layanan seksual
>
> Jika pada Pasal 1 kita baru melihat "preview" dari pornografi itu, maka
> pada Pasal 4 ayat 1 inilah dijelaskan apa yang dilarang. Maka dari itu
> menurut saya Pasal 1 dan Pasal 4 tidak dapat dipisahkan. Dan menurut
> saya, Pasal 1 tidak lagi perlu dipermasalahkan karena sudah dijelaskan
> pada Pasal 4.
>
> OK, pornografi adalah ".... yang dapat membangkitkan hasrat seksual".
> Apa yang dapat membangkitkan hasrat seksual itu? Ada BANYAK, dan setiap
> orang beda2 :) Tapi ada KESAMAAN dari semua orang yang kurang lebih
> "normal" (baca: tidak pedofil, tidak voyerisme, tidak exhibionisme, dll)
> yaitu: hasrat seksualnya dapat terbangkitkan dengan apa yang dijelaskan
> dalam Pasal 4 ayat 1.
>
> Oleh karena itu, menurut saya pertanyaannya bukanlah: apa sih yang dapat
> membangkitkan hasrat seksual itu? (mempermasalahkan Pasal 1)
>
> Melainkan pertanyaannya harus: benarkah apa yang dituliskan dalam Pasal
> 4 ayat 1 ini dapat membangkitkan hasrat seksual?
>
> Jika jawabannya "Ya", maka sebenarnya tidak ada masalah dalam pemilihan
> bahasanya. Jika kemudian ada yang menggunakan Pasal 1 sebagai dasar,
> justru malah menimbulkan pertanyaan: kenapa memperluas sesuatu yang
> sudah dikerucutkan?
>
> > > Pasal 5
> > > Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh
> > > pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
> > > (1)
>
> Ini adalah pasal yang akan membuat banyak penggemar produk yang dapat
> dikatakan sebagai pornografi seperti yang sudah dijelaskan detilnya pada
> Pasal 4 terbatasi kebebasannya.
>
> Namun, karena kebetulan saya sendiri bukan penggemar produk seperti ini,
> saya tidak merasa bermasalah. Dan jika pun saya penggemar, saya hanya
> akan terbatasi hobinya. Itu tidak akan membunuh saya.
>
> > > Pasal 6
> > > Setiap orang dilarang memperdengarkan,
> > > mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau
> > > menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam
> > > Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh
> > > perundang-undangan.
>
> Jika ini dibaca dengan jelas, maka kekhawatiran Mbak Ratih tentang
> "bagaimana nasib penyuluh pendidikan seks" tidak perlu muncul.
>
> > > Pasal 7
> > > Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi
> > > perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
>
> Pasal ini akan membuat donatur atau siapa pun yang bisnisnya terkait
> dengan batasan Pasal 4 terbatasi. Karena saya bukan pebisnis seperti
> itu, apa nggak boleh saya merasa tidak keberatan?
>
> > > Pasal 8
> > > Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas
> > > persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang
> > > mengandung muatan pornografi.
> > >
> > > Pasal 9
> > > Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai
> > > objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
> > >
> > > Pasal 10
> > > Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang
> > > lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang
> > > menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,
> > > persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
>
> Pasal2 ini yang dipermasalahkan Neon kemarin karena tidak secara
> spesifik menggunakan Pasal 4 sebagai batasan. OK, pendapatnya cukup
> valid, dan jika mau diusulkan untuk diperbaiki, silakan saja :) Saya
> mengatakan tidak keberatan dengan UUP, bukan berarti mengatakan ini
> sempurna. UUP kan bukan kitab suci ;)
>
> Tapi hemat saya, jika terjadi dispute terhadap sesuatu yang dasarnya
> adalah pasal2 ini, maka there is a fair chance bahwa yang berkeberatan
> salah. Bahwa di pengadilan kemudian diputuskan bahwa apa yang
> dipermasalahkan tidak terbukti dapat membangkitkan hasrat seksual.
>
> > > Pasal 11
> > > Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan
> > > dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam
> > > Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau
> > > Pasal 10.
>
> > > Pasal 12
> > > Setiap orang dilarang mengajak, membujuk,
> > > memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan
> > > atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa
> > > pornografi.
>
> Kemarin kalau tidak salah baca, Neon mengomel bahwa UU Pornografi, kalau
> mengikuti UU di Amerika Serikat, mestinya lebih mengurusi masalah [salah
> satunya] perlindungan anak. Nah... menurut saya, Pasal 11 - 12 ini sudah
> ke arah perlindungan anak.
>
> Saya pribadi malah senang dengan adanya ketidakjelasan batasan
> pornografi pada Pasal 11 - 12 ini, karena dengan demikian dalam bentuk
> apa pun anak2 tidak boleh dilibatkan.
>
> > > Pasal 13
> > > (1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
> > > pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud
> > > dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada
> > > peraturan perundang-undangan.
> > >
> > > (2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
> > > pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
> > > dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
>
> Pasal 13 ini malah kalau menurut saya membuka kesempatan bagi media
> seperti Playboy. Bahwa masih terbuka kesempatan bagi mereka untuk
> menjalankan bisnisnya.
>
> > > Pasal 14
> > > Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi
> > > seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan
> > > memiliki nilai:
> > > a.seni dan budaya;
> > > b.adat istiadat; dan
> > > c.ritual tradisional.
>
> Tadi pagi saya baca Tempo edisi terbaru. Di halaman 96 - 97 ada kutipan:
> Para tokoh masyarakat Bali jua memprotes Pasal 14... "Kalau diterima,
> sama saja dengan mengakui adat istiadat kita mengandung pornografi,"
> kata budayawan Bali, Sugi Lanus.
>
> OK, saya terima alasannya. Tapi saya jadi bertanya2: sulitkah menerima
> dan mengakui bahwa adat istiadat kita mengandung pornografi? Jika kita
> menerima adat kita mengandung ketelanjangan or whatever, istilah
> pornografi atau tidak hanyalah masalah istilah. Yang jelas, secara
> substansi, kita tidak dianggap kriminal jika melakukan adat istiadat
> itu.
>
> Ini juga yang saya pertanyakan dari posting Pak Prastowo tentang protes
> Papua. Apa masalahnya jika kita sudah terjamin tidak akan diganggu gugat
> budayanya?
>
> > > Pasal 15
> > > Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan
> > > pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk
> > > pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan
> > > pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13
> > > diatur dengan Peraturan Pemerintah.
>
> Pasal 15 ini, sekali lagi, menjawab keresahan Mbak Ratih tentang nasib
> "penyuluh pendidikan seksual". Apakah ada masalah, dari segi UUP-nya,
> jika pasalnya dibaca dengan baik?
>
>
> > > BAB III
> > > PERLINDUNGAN ANAK
> > >
> > > Pasal 16
> > > Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari
> > > pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap
> > > informasi pornografi.
> > >
> > > Pasal 17
> > > 1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan,
> > > lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat
> > > berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta
> > > pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi
> > > setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
> > > pornografi.
> > >
> > > 2) Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta
> > > pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental
> > > sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
> > > Peraturan Pemerintah.
>
> Pasal ini nggak ada masalah bagi saya. Jadi saya terima juga.
>
> > > BAB IV
> > > PENCEGAHAN
> > >
> > > Bagian Kesatu
> > > Peran Pemerintah
> > >
> > > Pasal 18
> > > Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
> > > pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
> > > pornografi.
>
> Menurut saya, memang ini kewajibannya Pemda, sebagai perpanjangan tangan
> pemerintah. Mau diajukan untuk memperjelas batasan pornografi dengan
> mencantumkan Pasal 4, boleh. Tidak pun buat saya tidak masalah. Kan
> masih berkisar pada penegasan kewajibannya, bukan spesifik caranya :)
> Mau punya batasan pornografi lebih luas daripada Pasal 4 juga boleh
> saja. Apalagi kalau di NAD, mungkin batasan cuma Pasal 4 saja tidak
> cukup.
>
> > > Pasal 19
> > > Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam
> > > Pasal 18, Pemerintah berwenang:
> > > a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan
> > > penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi,
> > > termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
> > >
> > > b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan,
> > > penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
> > >
> > > c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai
> > > pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam
> > > pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
> > > pornografi.
>
> Menurut saya sih kewenangannya masuk akal. Ada yang bermasalah dengan
> pengawasan pemerintah serta keharusan kerjasama/koordinasi?
>
> Yang agak membatasi mungkin pemblokiran internet ya, karena seperti
> kasus Fitna lalu, pemerintah cukup bodoh untuk tidak bisa membedakan
> antara URL dengan situs ;) Tapi yang begini bisa dibicarakan baik2,
> menurut saya.
>
> > > Pasal 20
> > > Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud
> > > dalam Pasal 18, Pemerintah Daerah berwenang:
> > >
> > > a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan
> > > penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi,
> > > termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di
> > > wilayahnya;
> > >
> > > b.melakukan pengawasan terhadap pembuatan,
> > > penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di
> > > wilayahnya;
> > >
> > > c.melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai
> > > pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
> > > penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
> > >
> > > d.mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan
> > > edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di
> > > wilayahnya.
>
> Ini nggak beda jauh dengan Pasal 19, hanya lebih detil. Lebih
> mengerucutkan.
>
> > > Bagian Kedua
> > > Peran Serta Masyarakat
> > >
> > > Pasal 21
> > > Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan
> > > pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan
> > > penggunaan pornografi.
> > >
> > > Pasal 22
> > > (1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
> > > Pasal 21 dapat dilakukan dengan cara:
> > >
> > > a.melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
> > >
> > > b.melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
> > >
> > > c.melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan
> > > yang mengatur tentang pornografi; dan
> > >
> > > d.melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap
> > > bahaya dan dampak pornografi.
> > >
> > > (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
> > > a dan huruf b dilaksanakan secara bertanggung jawab
> > > dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
>
> Ini pasal kontroversial itu ya ;)
>
> Sudah saya ulas melalui jawaban saya pada IG Agung Pindha serta Neon
> bahwa dari segi bahasa, sebenarnya tidak ada masalah. Boleh cek KBBI
> kalau tidak puas ;) Ini baru menjadi masalah, jika ada yang salah
> membaca :) Misalnya "melakukan pencegahan" dibaca sebagai "mengadili".
> Naah... itu baru runyam ;)
>
> Kalau yang salah membaca adalah orang yang berpotensi dirugikan (seperti
> IG Agung Pindha), maka bisa kita beritahu baik2 bukan? Kalau yang salah
> membaca adalah orang yang berpotensi merugikan (misalnya FPI) dan
> kemudian terbukti merugikan, maka Pasal 22 ayat 2 bisa dijadikan dasar
> memperkarakannya kan?
>
> Dan sebenarnya bisa kita cegah perilaku merugikan dari orang2 tertentu
> itu dengan menyosialisasikan produk ini. Atau, kalau sudah ada track
> record buruk, ya seperti usul saya: lucuti saja orang2 itu dari
> kekuasaannya.
>
> > > Pasal 23
> > > Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana
> > > dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a berhak
> > > mendapat perlindungan berdasarkan peraturan
> > > perundang-undangan.
>
> Ini perlindungan bagi yang cukup cerdas untuk membaca pasal2nya,
> mengartikan kata2nya dengan benar, dan kemudian mengambil langkah
> seperti yang dijabarkan dalam Pasal 22 ayat 1. Saya sih nggak ada
> masalah. Perlindungan memang perlu.
>
> > > BAB V
> > > PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG
> > > PENGADILAN
> > >
> > > Pasal 24
> > > Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
> > > pengadilan terhadap pelanggaran pornografi
> > > dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum
> > > Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam
> > > Undang-Undang ini.
>
> Ini konsekuensinya kan? Menurut saya cukup fair dan sesuai ketentuan
> prosedur hukum kita.
>
> > > Pasal 25
> > > Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam
> > > Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk
> > > juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi
> > > tetapi tidak terbatas pada:
> > >
> > > a.barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk
> > > cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik,
> > > atau bentuk penyimpanan data lainnya; dan
> > >
> > > b.data yang tersimpan dalam jaringan internet dan
> > > saluran komunikasi lainnya.
>
> Ini kaitannya dengan pertanyaan Bidadari Cantik kemarin kan? Tentang
> pembuktian jika sesuatu digugat sebagai 'dapat membangkitkan hasrat
> seksual'? Seperti saya katakan, ajukan saja buktinya. Mau dilakukan tes
> pembuktian, kan memang tidak dilarang?
>
> > > Pasal 26
> > > (1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang
> > > membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data
> > > elektronik yang tersimpan dalam fail komputer,
> > > jaringan internet, media optik, serta bentuk
> > > penyimpanan data elektronik lainnya.
> > >
> > > (2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data,
> > > penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik
> > > berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data
> > > elektronik yang diminta penyidik.
> > >
> > > (3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa
> > > layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau
> > > membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
> > > (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau
> > > berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.
> > >
> > > Pasal 27
> > > Penyidik membuat berita acara tentang tindakan
> > > sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan mengirim
> > > turunan berita acara tersebut kepada pemilik data,
> > > penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi
> > > di tempat data tersebut didapatkan.
> > >
> > > Pasal 28
> > > (1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan
> > > perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas
> > > perkara.
> > >
> > > (2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan
> > > perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau
> > > dihapus.
> > >
> > > (3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada
> > > semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
> > > merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan
> > > sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data
> > > elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
>
> Prosedur ini tidak bertentangan dengan hukum kita. Nggak ada masalah
> buat saya.
>
> > > BAB VI
> > > PEMUSNAHAN
> > >
> > > Pasal 29
> > > (1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi
> > > hasil perampasan.
> > >
> > > (2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud
> > > pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan
> > > membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
> > > a.nama media cetak dan/atau media elektronik yang
> > > menyebarluaskan pornografi;
> > > b.nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
> > > c.hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
> > > d.keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
> > > barang yang dimusnahkan.
> > >
> > > BAB VII
> > > KETENTUAN PIDANA
> > >
> > > Pasal 30
> > > Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak,
> > > menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor,
> > > mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
> > > atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam
> > > Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
> > > singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
> > > tahun atau pidana denda paling sedikit
> > > Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling
> > > banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
> > >
> > > Pasal 31
> > > Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi
> > > sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana
> > > dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
> > > dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda
> > > paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
> > > juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
> > > (tiga miliar rupiah).
> > >
> > > Pasal 32
> > > Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh
> > > pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana
> > > dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau
> > > pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
> > > miliar rupiah).
> > >
> > > Pasal 33
> > > Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan,
> > > memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk
> > > pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana
> > > dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau pidana
> > > denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
> > > rupiah).
> > >
> > > Pasal 34
> > > Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi
> > > perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana
> > > dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
> > > paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda
> > > paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
> > > dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar
> > > lima ratus juta rupiah).
> > >
> > > Pasal 35
> > > Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan
> > > dirinya menjadi objek atau model yang mengandung
> > > muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
> > > dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
> > > (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak
> > > Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
> > >
> > > Pasal 36
> > > Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek
> > > atau model yang mengandung muatan pornografi
> > > sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan
> > > pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
> > > paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda
> > > paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
> > > rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam
> > > miliar rupiah).
> > >
> > > Pasal 37
> > > Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain
> > > dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan
> > > ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan,
> > > atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana
> > > dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara
> > > paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda
> > > paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
> > >
> > > Pasal 38
> > > Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan
> > > dan/atau sebagai obyek sebagaimana dimaksud dalam
> > > Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan
> > > pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31,
> > > Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37,
> > > ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman
> > > pidananya.
> > >
> > > Pasal 39
> > > Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan,
> > > membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa
> > > anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi
> > > sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan
> > > pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
> > > paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling
> > > sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
> > > rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
> > > miliar rupiah).
> > >
> > > Pasal 40
> > > (1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh
> > > atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan
> > > penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi
> > > dan/atau pengurusnya.
> > >
> > > (2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi
> > > apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
> > > orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun
> > > berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
> > > korporasi tersebut, baik sendiri maupun
> > > bersama-sama.
> > >
> > > (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu
> > > korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
> > >
> > > (4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana
> > > dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
> > >
> > > (5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi agar
> > > pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan
> > > dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya
> > > pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
> > >
> > > (6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap
> > > korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan
> > > penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada
> > > pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat
> > > pengurus berkantor.
> > >
> > > (7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap
> > > korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum
> > > pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang
> > > ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
> > >
> > > Pasal 41
> > > Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal
> > > 40 ayat (7), korporasi dapat dikenakan pidana tambahan
> > > berupa:
> > > a.pembekuan izin usaha;
> > > b.pencabutan izin usaha;
> > > c.perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan/atau
> > > d.pencabutan status badan hukum.
> > >
> > > BAB VIII
> > > KETENTUAN PENUTUP
> > >
> > > Pasal 42
> > > Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu
> > > paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki
> > > atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud
> > > dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau
> > > menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk
> > > dimusnahkan.
> > >
> > > Pasal 43
> > > Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
> > > peraturan perundang-undangan yang mengatur atau
> > > berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan
> > > tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
> > > Undang-Undang ini.
> > >
> > > Pasal 44
> > > Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
> > > diundangkan.
> > >
> > > Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
> > > pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
> > > dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
> > >
> > > PENJELASAN:
> > >
> > > Pasal 4
> > > Ayat (1)
> > > Huruf a
> > > Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang"
> > > antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual
> > > lainnya dengan mayat dan binatang, oral seks, anal
> > > seks, lesbian, homoseksual.
> > >
> > > Huruf b
> > > Yang dimaksud dengan "kekerasan seksual" antara
> > > lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan
> > > kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan
> > > paksaan, pemerkosaan.
> > >
> > > Huruf d
> > > Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan"
> > > adalah penampakan tubuh dengan menunjukkan
> > > ketelanjangan yang menggunakan penutup tubuh yang
> > > tembus pandang.
> > >
> > > Pasal 5
> > > Yang dimaksud dengan "mengunduh" adalah mengalihkan
> > > atau mengambil fail (file) dari sistem teknologi
> > > informasi dan komunikasi.
> > >
> > > Pasal 6
> > > Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh
> > > perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi
> > > kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi
> > > penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan
> > > kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga
> > > pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula
> > > perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan
> > > lainnya.
> > >
> > > Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan,
> > > memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang
> > > pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan
> > > di tempat atau lokasi yang disediakan untuk tujuan
> > > lembaga dimaksud.
> > >
> > > Pasal 10
> > > Yang dimaksud dengan "mempertontonkan diri" adalah
> > > perbuatan yang dilakukan atas inisiatif dirinya atau
> > > inisiatif orang lain dengan kemauan dan persetujuan
> > > dirinya. Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya"
> > > antara lain kekerasan seksual, masturbasi atau onani.
> > >
> > > Pasal 13
> > > Ayat (1)
> > > Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi,
> > > membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
> > >
> > > Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk
> > > menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor,
> > > mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
> > > meminjamkan, atau menyediakan.
> > >
> > > Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk
> > > memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
> > > memiliki atau menyimpan.
> > >
> > > Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
> > > (1)" dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat
> > > model berpakaian bikini, baju renang, pakaian olahraga
> > > pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.
> > >
> > > Ayat (2)
> > > Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara
> > > khusus" misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau
> > > oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan
> > > atau menggambarkan pornografi.
> > >
> > > Pasal 14
> > > Yang dimaksud dengan "materi seksualitas" adalah
> > > materi yang tidak mengandung unsur yang dapat
> > > membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar
> > > kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang
> > > yang menggambarkan lingga dan yoni.
> > >
> > > Pasal 16
> > > Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini
> > > mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan
> > > ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan
> > > perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam
> > > Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan
> > > Anak.
> > >
> > > Pasal 19
> > > Huruf a
> > > Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui
> > > internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau
> > > penyediaan jasa pornografi.
> > >
> > > Pasal 20
> > > Huruf a
> > > Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui
> > > internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau
> > > penyediaan jasa pornografi.
>
> Hingga bagian penjelasan ini, menurut saya sudah sesuai dengan hukum
> kita. Jadi, saya tidak ada masalah dengan ini.
>
> ***
>
> Saya membaca UUP ini berkali2, sebelum menentukan sikap. Dan saya juga
> sudah mendengar, serta membaca berbagai keluhan orang2 yang menolak UUP
> ini. Banyak yang alasannya kurang solid, lebih banyak dipengaruhi:
>
> 1. Kesalahan/ketidaktelitian membaca: seperti argumen yang
> dikemukakan Agung Pindha, Mbak Ratih, Neon
> 2. Membaca parsial: seperti argumen Tuhantu yang bolak-balik
> mempermasalahkan Pasal 1
> 3. Entah kalau timpalan2nya Pak Prastowo dan Neon itu masuk
> kategorinya apa ya? Neon ada sedikit indikasi karena terlanjut
> menganggap UUP ini apa pun bentuknya adalah kesewenangan anggota dewan
> yang harus ditentang sih ;) Jadi ada indikasi melihat UUP sebagai
> simbol, bukan UUP itu sendiri :)
>
> Banyak juga yang alasannya solid, seperti yang Anda kemukakan tentang 3
> penari itu. Tapi, jika demikian, yang menjadi masalah apakah UUP ini
> kurang jelas atau kelompok orang2 tertentu?
>
> Saya melihatnya yang menjadi problem adalah sekelompok orang. Bukan UUP
> itu sendiri. Dan oleh karenanya saya tidak keberatan dengan UUP ini,
> meskipun ada resiko suatu hari saya yang terjerat.
>
> Menurut saya, resiko suatu hari saya terjerat UUP ini adalah suatu
> resiko standar karena saya hidup dalam anomie.
>
> Oleh karena itu, walaupun "kehidupan saya di milis ini" akan jauuuuh
> lebih mudah jika saya mengamini pendapat teman2 sekalian, saya tetap
> belum bisa ikut menghujat UUP ini :)
>
> Tapi silakan kalau teman2 lain berjuang untuk membatalkan UUP ini :)
> Saya rasa, perjuangan Anda sekalian akan lebih bermanfaat jika diarahkan
> kepada anggota dewan, daripada diarahkan untuk mengubah pendapat saya ;)
>
> Salam,
>
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Groups

Dog Zone

Connect w/others

who love dogs.

All-Bran

Day 10 Club

on Yahoo! Groups

Feel better with fiber.

Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

.

__,_._,___

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home